Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak Cerdas!

26 Desember 2009   16:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:45 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Paulina Sihaloho (2,8 Tahun) [caption id="attachment_43928" align="alignleft" width="300" caption="Paulina Sihaloho dekat cosmea yang sedang berbunga yang di bawahnya tumbuh cabe rawit (Foto oleh: LTS)"][/caption] Dua hari yang lalu, saya berada di Urung Panei, di kampung kami (kampung asal ibu saya). Pagi itu, ponakan saya Paulina Sihaloho meminta saya pergi dengannya bermain-main di halaman rumah. Cosmea sedang mekar satu pokok dekat jalan. Saya bilang padanya kami bermain-main dekat cosmea itu saja. Eh, ternyata di bawah cosmea ada banyak cabe rawit yang masih kecil-kecil. Paulina mencabut salah satu cabe rawit itu, dia pilih yang agak besar. Dari dapur, dia sudah membaca sebilah kayu; kayu ini adalah pinus yang berminyak yang mudah nyala dan biasa dipergunakan untuk mempermudah menyalakan api mempergunakan kayu bakar. Daripada memakai minyak tanah menyalakan api berkayu bakar, maka jauh lebih hemat kalau pakai sebilah kecil kayu pinus berminyak ini. Ketika Paulina mencabut salah satu cabe rawit yang masih kecil itu, saya protes, "Eh, kenapa kau cabut?" Saya pikir dia akan membiarkannya begitu saja. Rupanya tidak. Dia lalu mencongkel-congkel tanah di depannya mempergunakan sebilah kayu kecil yang ada di tangannya. Tenaganya tidak cukup untuk membuat lubang yang mencukupi untuk menanam kembali cabe rawit itu. Saya membantunya mengorek agar lebih dalam sedikit lagi. Lalu saya biarkan dia menanam sendiri. [caption id="attachment_43930" align="alignright" width="300" caption="Mulai menggali tanah dengan sebilah kayu kecil untuk menanam cabe rawit (Foto oleh: LTS)"][/caption] "Yang bagus bikin ya!" saya bilang. "Iyaa Bou", jawabnya. (Bou adalah panggilan pada saudari perempuan ayah dalam masyarakat Simalungun). "Padat bikin tanahnya ya...!" tambah saya dan dia memadatkannya. "Kurang padat, pakai kaki injak-injak sekelilingnya!" Dia pun melakukannya. Semuanya berlangsung dalam waktu singkat. Dalam waktu yang sama, saya terutama sibuk untuk memotretnya yang selalu bergerak. Saya beberapa kali harus mengatakan padanya, "Hallo...halloo!" agar dia mau melihat ke arah saya, ke arah kamera karena hampir selalu dia sibuk dengan dunianya sendiri, dunia bermain-main --- saya hanya masuk dalam perhatiannya kalau saya berpartisipasi dalam permainan yang sedang dia lakukan yang tidak selalu bisa karena saya lebih suka memotret aktivitasnya walau saya juga sangat ingin bermain bersamanya. Kalau saya bermain penuh seperti yang dia mau, bagaimana dengan memotret? Hehe...! [caption id="attachment_43932" align="alignleft" width="300" caption="Menanam cabe, bilah kayu tergeletak di dekatnya. (Foto oleh: LTS)"][/caption] Menanam cabe hanya berlangsung sekitar 3 menit. Setelah selesai menanam cabe, dia sudah berlari-lari ke tempat lain. Dalam satu jam, jenis permainan dan kegiatan yang dia lakukan sangat beragam. Saya sangat terkesan padanya Paulina lahir 10 April 2007, jadi dia belum genap 3 tahun. Saban hari dia ikut ke ladang bersama kedua orangtuanya. Sebagai anak-anak, dia mengeksplorasi ladang dengan berbagai tanaman yang ada di sana. Dia tahu bahwa yang dia cabut adalah cabe. Dia mengenal tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya; dia mengetahui nama-nama tumbuhan itu. Cara dia menanam cabe itu bagi saya mengesankan! Persis. Macam seorang petani tulen. Dia melihat apa yang dilakukan oleh orang tuanya dan juga ibu saya di ladang atau di halaman rumah. Cabe biasanya disemaikan dulu biji-bijinya di persemaian. Setelah cukup besar, baru dipindahkan ke penanamannya. Cabe-cabe di bawah cosmea berbunga kuning sekilas memang nampak seperti dalam persemaian karena tumbuh bergerombol. Saya sendiri belum tahu mengapa ada banyak cabe di situ. Belum sempat nanya sama ibu saya. Anak-anak sebenarnya punya kemampuan belajar yang luar biasa hebat; mereka cepat menangkap dan bisa mempraktekkan apa yang mereka lihat. Itu sebab mengapa anak-anak perlu mempunyai ruang yang bagus untuk bertumbuh baik di tengah keluarga maupun lingkungan. [caption id="attachment_43935" align="alignright" width="300" caption="Memastikan cabe tertanam dengan baik. (Foto oleh: LTS)"][/caption] Dalam usia belum genap 3 tahun, Paulina di rumah dan di kampung menggunakan tiga bahasa sekaligus (kadang campur aduklah): Simalungun, Toba dan Indonesia. Ibunya (ipar saya) berbahasa Toba, ibu saya berbahasa Simalungun dan pada umumnya orang tua di kampung juga mengajarkan anak-anak mereka yang masih kecil berbahasa Indonesia. Kecerdasan seseorang sangat erat berkaitan dengan kemampuannya berbahasa. Kemampuan berbahasa ini juga sangat erat kaitannya dengan kemampuannya mengenal alam sekitarnya; apa saja yang ada di sana: manusia, tumbuhan, hewan dan benda-benda lainnya. Saya baru tahu dari ipar saya yang paling besar bagaimana Paulina mempunyai kemampuan yang hebat dalam berbahasa melalui beberapa contoh. Tahun lalu, ketika dia berumur 1,8 tahun, salah satu saudara laki-laki ibu saya minta tolong pada Paulina: "Ambilkan dulu korek itu Nang!" tanpa menunjuk benda yang dimaksud. (Nang dalam konteks ini adalah panggilan kasih pada anak-perempuan dalam kultur Batak, singkatan dari: Inang). Yang mengherankan, Paulina mempertegas dengan mengatakan, "Loting?" Yang ada di dekat mereka saat itu adalah macis, yang dalam bahasa Simalungun kami sebut sebagai loting. Bagi saya anak seperti dia mempunyai kemampuan berbahasa yang cukup kompleks dan menarik. Ipar saya ada di dekatnya pada saat itu. [caption id="attachment_43999" align="alignleft" width="300" caption="Berlari... (Foto oleh: LTS)"][/caption] Dua contoh lain yang disampaikan oleh ipar saya kepada siapa Paulina menyapa: Inang Tua (sapaan untuk istri dari abang ayah kita): Masih ketika dia berusia 1,8 tahun itu. Ipar saya minta tolong pada Paulina: "Ambilkan dulu sarung Inang Tua Nang!"  Eh, Paulina malah bertanya mengkonfirmasi, "Mandar?"  Mandar bahasa Simalungun dan Toba (sama) yang berarti sarung. Di lain waktu masih pada waktu berdekatan, ipar saya minta tolong pada Paulina, "Ambilkan dulu daun-daun itu Nang!" Paulina mengkonfirmasi, "bulung-bulung?" Bulung-bulung dalam bahasa Simalungun juga Toba berarti daun-daun. Saya kira, seorang linguis perlu mempelajari kemampuan berbahasa seorang anak seperti Paulina. Saya suka bahasa tetapi saya bukan seorang linguis yang handal. Saya kagum saja dengan kemampuan berbahasanya itu; bagaimana dia secara spontan bisa mengasosiasikan kata-kata yang berbeda tetapi sama artinya seperti: sarung yang adalah mandar, daun-daun yang adalah bulung-bulung. Dia bisa membedakan antara korek-api dan macis (loting) dan mengoreksi orang dewasa yang mengatakan bahwa macis adalah korek-api. Dia beruntung karena sehari-hari dalam usianya yang masih belum genap tiga tahun itu dia telah berinteraksi dalam tiga bahasa sekaligus. Kami kadang membelikan buku-buku anak-anak untuknya. Dia senang. Dia tahu nama-nama hewan yang ada dalam buku itu. Dia bisa menghitung 1 sampai 10 walau kadang meloncat-loncat urutannya. Dia telah mengenal sebagian huruf walau kadang terbalik-balik. [caption id="attachment_43941" align="alignleft" width="300" caption="Berlari setelah selesai menanam cabe, bilah kayu dari dapur masih di dalam genggaman. (Foto oleh: LTS"][/caption] Namun, menurut saya, yang paling penting adalah kedekatannya dengan alam sekitar. Anak seorang petani sebenarnya sangat beruntung juga karena bisa berinteraksi dengan alam dan tumbuh-tumbuhan secara langsung hampir setiap hari bahkan sejak bayi. Sekarang kita ribut soal pemanasan global; sibuk kampanye penanaman pohon dengan berbagai acara-acara simbolis dan seremonial. Terus terang saya geli juga sebab ponakan saya, yang 2,8 tahun saja bisa menanam tanaman sebagai bagian dari permainannya yang bisa dilakukannya secara alami. Sikap alami macam yang ada dalam diri seorang Paulina ini yang menurut saya perlu kita dorong dan pupuk dalam diri anak-anak sejak kecil. Kalau sudah besar lalu diminta nanam pohon, saya kira sudah agak sulit ya. Mungkin hanya akan berakhir sebagai sebuah acara seremonial atau simbolis belaka. Orang perlu mempunyai kesadaran akan pentingnya lingkungan sejak kecil; menjadikan itu seperti darah yang mengalir dalam tubuh - kesadaran atau kecintaan yang mengalir dalam tindakan.*** [caption id="attachment_43948" align="aligncenter" width="300" caption="Paulina dan saya di halaman rumah setelah dia mandi di sore hari, hehe... (pagi dia tak mandi karena dingins) - (Foto oleh: Henriwani Sihaloho) "][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun