Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

1 Dollar 4 Jalapeno

2 September 2010   00:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:31 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_246717" align="alignleft" width="300" caption="Jalapeno, jenis cabe yang pedas yang biasa saya beli kalau di Amerika (http://ayeshahaq.wordpress.com)"][/caption] Masih mahal cabe di Indonesia? Di Pematang Siantar, minggu lalu setahu saya sudah tidak semahal seperti di awal bulan Ramadhan; harga sudah berkisar antara Rp.20.000 per kg untuk cabe rawit dan bahkan cabe merah lebih murah. Walaupun, secara umum, harga-harga bahan-bahan pangan pokok tetaplah mahal untuk sebagian besar warga Indonesia. Itu baru soal cabe yang kalau kita tak makan juga kita tidak akan mati. Coba kalau tidak makan nasi/jagung/ubi sebagai sumber utama karbohidrat, bagaimana jadinya? Tempo sebulan atau lebih sedikit mungkin sebagian sudah lemas bahkan tidak perlu menunggu sampai sebulan? Farmer Market di Hartford Di Amerika ada farmer market; kalau di Indonesia mungkin mirip dengan pekan tradisional walaupun tidak persis sama. Di Indonesia, sebagian penjual sayur dan buah menjual hasil ladang mereka tetapi tidak ada tempat khusus di mana kita bisa menjumpai para pedagang sayur dan buah yang benar-benar menjual hasil ladang yang dia usahakan sendiri. Di pasar-pasar tradisional, semuanya membaur dan kebanyakan, sejauh yang saya tahu, para penjual sayur dan buah di pasar-pasar tradisional kita bukanlah para petani itu sendiri. Secara umum, farmer market di Amerika berlangsung pada jam-jam terbatas saja, tidak sepanjang hari dan tidak setiap hari. Kemarin saya belanja sayur dan buah di Farmington Street Farmer Market di Hartford ini. Farmer market di tempat ini hanya berlangsung dua kali dalam seminggu, Selasa dan Jum'at pada pukul 17:00 - 19:00 sore, hanya di bulan Juni sampai Oktober saja. Dari seorang perempuan muda yang menjual cabe, tomat, sayur, buncis, dan jenis sayur lainnya saya mengetahui bahwa dia dan semua penjual sayur dan buah Farmington itu adalah sekaligus juga petani. Mereka menanam sendiri semua yang mereka jual. "Ya, saya tanam sendiri semua ini," kata perempuan muda itu, "Saya petani." Kulitnya berbintik-bintik hitam mungkin karena sengatan matahari musim panas. Lincah dan percaya diri. Dari perbincangan saya dengannya saya menangkap kesan betapa dia menjiwai profesi yang dia lakoni sebagai petani. Dia mengetahui filosofinya; mengapa dia bertani secara organik dan menjual hasil pertaniannya kepada orang lain. Menyenangkan berada di farmer market. Di situ saya melihat berbagai jenis tomat yang sebelumnya tidak pernah saya lihat. Saya membeli 5 jenis tomat yang berbeda-beda yang di supermarket sebagian besar jenis itu tidak ada. Serasa kembali ke masa lalu; kembali ke masa kecil ketika tomat yang biasa kami makan berbeda dengan tomat yang ada sekarang ini. Kakek-nenek saya di Samosir pernah bercerita bahwa dulu tomat berbuah besar di sana dan tak perlu pestisida sama sekali, cukup pupuk kandang yang tentu adalah pupuk organik. Jenis tomat itu enak. Para petani tradisional dan organik seperti para petani di farmer market itu adalah para pahlawan yang menjaga kelestarian tumbuhan-tumbuhan yang melangka. Petani di Indonesia dipaksa oleh keadaan dan sistem untuk menanam jenis tomat tertentu saja, semua seragam, dan jenis tomat ini bukan jenis tomat yang biasa mereka miliki. Perhatikan saja jenis tomat di pasar-pasar di Indonesia, semua hampir sama bentuk dan rasanya. Dulu ada banyak jenis tomat tetapi kebijakan menyangkut benih bukan otoritas petani. Mereka terpaksa beli benih yang telah didesain begitu rupa dan benih-benih lokal pun berpunahan. Jenis tumbuhan yang sama dan seragam rentan terhadap hama dan penyakit. Itu sebab bertanam tomat seperti di desa saya di Urung Panei adalah pekerjaan sulit, lebih sulit daripada mengurus bayi yang baru lahir. Perlu modal besar. Harga tidak menentu. Bertanam tomat adalah sama dengan berjudi dan mengundi lotere. Di Amerika pun, menurut pengamatan saya, jumlah petani seperti para petani di Farmington Street itu yang menjual sendiri hasil ladang mereka sedikit. Mereka ini berusaha untuk mengkampanyekan hidup sehat dengan mengonsumsi sayur dan buah organik tetapi mereka toh tetap tidak bisa mengimbangi supermarket-supermarket besar yang menyediakan sayur dan buah dalam jumlah besar untuk pembeli mayoritas dengan harga yang jauh lebih murah. Di Farmington Street Farmer Market, saya beli 4 buah jalapeno berbagai bentuk seharga 1 dollar; ukuran jalapeno itu kecil-kecil. "Segar, pedas dan organik!" begitu kata penjual cabe kepada saya. Betul memang. Saya pakai sebiji saja memasak sudah cukup membuat saya kepedasan. Walau begitu, 4 biji satu dollar tentu mahal dibanding dengan jalapeno di supermarket yang untuk satu dollar bisa jauh lebih banyak dari yang di farmer market itu. Bentuk cabe yang lebih murah dan berpestisida itu biasanya lebih licin, mengkilap, dan cenderung seragam. Sedangkan yang organik, tampil apa adanya, natural, artistik, agak bergelombang-gelombang.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun