Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Hari ini Ps Rantinus Manalu Pr (Pejuang HAM Tapteng) Diperiksa lagi di Mapoldasu

14 Januari 2010   02:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:28 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ps. Rantinus Manalu, Membantu Rakyat Miskin Justru Dikriminalisasi Negara [caption id="attachment_53583" align="alignleft" width="228" caption="Ps Rantinus Manalu Pr, Pejuang HAM Tapanuli Tengah (Foto oleh: LTS) "][/caption] Hari ini, 14 Januari 2010, Pejuang HAM Tapanuli Tengah, Pastor Rantinus Manalu Pr dari Komisi Justice and Peace Keuskupan Sibolga, kembali menghadap kepolisian negara di Markas Besar Kepolisian Sumatera Utara (Mapoldasu). Ini pemeriksaan kedua terhadap Pastor Rantinus dengan tuduhan merambah hutan register 47 di Barus Utara, Tapanuli Tengah (Tapteng). Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tapteng melaporkan Pastor ini bersama dengan Robinson Tarihoran (Ketua Kelompok Tani Rap Martua di Barus Utara) sebagai tersangka tindak pidana tanpa ada berita pemeriksaan acara (BAP). Tiba-tiba saja langsung menjadi tersangka tindak pidana. Menjadikan Pastor Rantinus Manalu menjadi tersangka merupakan sebuah rekayasa memalukan yang dilakukan oleh negara melalui jajaran aparatur negara di republik ini. Jajaran aparatur ini merupakan gurita-gurita kecil yang menghadirkan dirinya bak domba tetapi sebenarnya serigala; serigala berbulu domba. Pastor Rantinus Manalu menghormati kemanusiaan semua pihak, baik anggota masyarakat di lapisan yang paling miskin sampai ke lapisan yang paling kaya; petani, pegawai negeri, polisi, tentara, bupati, gubernur, presiden, dll. Salah satu tugas dan tanggung jawabnya sebagai pastor adalah mengembalikan kemanusiaan yang rusak dan hilang dalam diri sesamanya, siapapun itu. [caption id="attachment_53584" align="alignright" width="300" caption="Rumah yang masih utuh berdiri dikelilingi berbagai pohon seperti pinang, cengkeh, jambu, dll di Molhum, Barus Utara. Areal inilah yang oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tapteng diklaim sebagai bagian dari Register 47. Batas hutan lindung (BHL) ada di dekat gunung yang berjarak 10 dan 8 km dari Molhum ini. Tak benar ini bagian dari hutan register 47. (Foto oleh: LTS)"][/caption] Kalau negara melalui pemkab dan kroni-kroninya menyerobot tanah rakyat miskin dengan memanipulasi kebodohan dan ketidakberdayaan mereka ini jelas berarti bahwa negara melalui aparat-aparatnya sedang melakukan nihilisasi terhadap rakyat. Menyerobot tanah rakyat sama artinya dengan memiskinkan dan membunuh mereka pelan tapi pasti. Kemiskinan akan melahirkan kemelaratan lahir dan batin yang harganya untuk jangka panjang sangat mahal: anak-anak kurang gizi, tidak bisa sekolah dan miskin secara kultural, politik dan sosial. Fenomena seperti ini sangat berbahaya bagi sebuah bangsa. Itu sebab Pastor Rantinus Manalu dengan segala daya upaya berjuang melawan nihilisasi kemanusiaan terhadap sesamanya lebih-lebih lagi yang berada di lapisan paling bawah khususnya di masyarakat Tapanuli Tengah. Di Tapanuli Tengah seperti juga di banyak tempat di Indonesia ini dan juga di berbagai negara nilai-nilai kemanusiaan semakin pudar bahkan hilang dalam diri banyak manusia terutama lagi dalam diri pihak-pihak yang seharusnya bekerja melayani sesama. Fungsi pemerintah adalah melayani bukan dilayani seperti banyak terjadi dalam masyarakat kita. Fungsi semua aparatur negara adalah melayani masyarakat - membuat sistem pemerintahan menjadi bersih demi kepentingan bersama. Hanya ini jaminan agar kita bisa maju dan menegakkan kepala sebagai manusia dan bangsa yang bermartabat. [caption id="attachment_53585" align="alignleft" width="300" caption="Sawah ini juga berada di Molhum yang diklaim Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tapteng sebagai Register 47. Benar-benar tak masuk akal: dalam hutan register ada sawah? (Foto oleh: LTS)"][/caption] Apa yang berlangsung di Tapanuli Tengah? Wilayah ini begitu terpencil - infrastruktur tidak memadai, jarang menjadi liputan media apalagi media nasional kecuali kalau terjadi peristiwa-peristiwa sangat penting. Media dalam waktu belakangan ini lebih banyak fokus menyoroti aktor-aktor pemerintahan di Jakarta yang juga tak becus mengurus negara ini. Hanya untuk mengetahui ke mana dana 6,7 triliyun saja dan siapa yang menerima sampai berbulan-bulan nggak beres. Bagaimana lagi mau mengurusi warga di daerah seperti di Tapteng? Negara melalui aparat-aparatnya tidak bisa terus-menerus bertindak arogan. Masyarakat sudah bosan dikelabui. Akan selalu ada pejuang-pejuang yang bahkan siap mati demi memperjuangkan hak-hak dasar dan azasi sesamanya. Sejarah dengan jelas telah mencatatkan orang-orang ini hanya saja, aparat-aparat negara terutama mereka yang berada di pucuk-pucuk pimpinan lupa bahwa begitu adanya. Sejarah tak menghormati para pemimpin yang zalim tetapi menghormati para pemimpin yang berjuang bagi kepentingan sesamanya, yang berjalan di jalan keadilan dan kebenaran. [caption id="attachment_53589" align="alignright" width="300" caption="Di Molhum, lahan seluas hampir 200 ha ini terletak di sekeliling hutan, berbentuk seperti kuali. Dulu warga tinggal di sini tetapi karena tidak ada jalan raya yang memadai, belakangan mereka pindah ke pesisir agar anak-anak bisa lebih mudah sekolah. Lahan ini tetap menjadi lahan pertanian warga, sebagian mereka tanami karet sebagian palawija seperti padi darat. Sebagian lagi menjadi lahan tempat penggembalaan kerbau. Kelapa masih ada seperti dalam foto ini; ditanam penduduk kala mereka berkampung di wilayah ini. (Foto oleh: LTS)"][/caption] Tahun lalu, sudah ada gelagat jelas bahwa pemerintah Tapteng hendak memberikan lahan di Molhum ini kepada investor untuk ditanami kelapa sawit. Warga pemilik lahan ini menolak karena mereka tahu mereka akan rugi dan tidak ada jaminan yang jelas bahwa negara akan peduli pada hak-hak mereka sebagai warga negara di republik ini. Melalui Kelompok Tani "Rap Martua" dengan koordinator Robinson Tarihoran, mereka meminta bantuan kepada Keuskupan Sibolga yang salah satu tugas dan tanggung jawabnya sebagai institusi keagamaan adalah mendorong masyarakat untuk hidup lebih baik. Kalau warga tak punya sumber perekonomian yang layak dan memadai, ini sama saja artinya dengan mereka kehilangan sebagian kemanusiaan mereka secara signifikan. Perjuangan Pastor Rantinus Manalu Pr dan rekan-rekannya di Tapteng adalah mengembalikan hak-hak dasar dan azasi warga di sana. Harusnya negara berterimakasih dan mendukung bukan malah mengkriminalisasikan atau meneror mereka: rumah aktivis Forum Pembela Tanah Rakyat, Edianto Simatupang dibakar sampai ludes, saat aksi damai di Medan tahun lalu dia ditikam; rumah orang tua Robinson Tarihoran dibakar pada hari Minggu, untung ada orang-orang yang sedang duduk di warung melihat kepulan asap membumbung sehingga rumah tidak dihanguskan semuanya oleh api. Berbagai macam cara dilakukan untuk menghentikan para pembela orang miskin dan pejuang HAM dari Tapteng ini tapi para pejuang ini tidak akan berhenti, mati pun mereka sudah siap kalau perlu. Pemerintah yang arogan dan menodai keadilan dan kebenaran toh akan ambruk sendiri, cepat atau lambat; sudah hukum alam, maka belajarlah! *** Tulisan terkait: http://polhukam.kompasiana.com/2009/12/18/mari-bergerak-untuk-pejuang-ham-dari-sibolga-saudara-saudari/

http://polhukam.kompasiana.com/2009/12/21/negara-monster-bagi-rakyat/

http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/08/dugaan-korupsi-pemkab-tapteng/

Foto-foto dari Molhum, Barus Utara [caption id="attachment_53624" align="aligncenter" width="284" caption="Pak Marbun baru pulang dari ladangnya di Molhum - Bapak yang sudah tua ini berjalan kaki dari rumah ke ladang dan sebaliknya sejauh puluhan km. Bapak ini istirahat sebentar; ia meletakkan bawaannya berupa getah karet dalam ember dan seikat kayu yang dia ikat di kedua ujung kayu dan dibawa di bahunya. Jalanan ke ladangnya di Molhum yang diklaim Pemkab Tapteng sebagai bagian dari Register 47 berbukit-bukit dan kalau hujan licin. "Hidup kami sudah susah tetapi kenapa kami dibuat tambah susah lagi?", begitu antara lain kata Bapak yang sudah tua ini. (Foto oleh: LTS)"][/caption] [caption id="attachment_53634" align="aligncenter" width="211" caption="Pak Marbun, warga Barus Utara yang berladang di Molhum, setiap hari berjalan kaki puluhan km ke ladangnya untuk melanjutkan hidup. Alangkah tak manusiawi kalau kita membiarkan sesama kita seperti Pak Marbun ini kehilangan tanahnya sebagai satu-satunya sumber penghidupan perekonomiannya. (Foto oleh: LTS)"][/caption] [caption id="attachment_53627" align="aligncenter" width="300" caption="Para petani di Molhum juga mempergunakan sebagian lahan yang ditumbuhi ilalang untuk mengangon ternak mereka. Kalau sebagian besar lahan termasuk milik rakyat yang adalah petani menjadi lahan sawit, kehidupan petani kita akan semakin melarat. (Foto oleh: LTS)"][/caption] [caption id="attachment_53629" align="aligncenter" width="300" caption="Petani pemilik lahan di Molhum menebang pohon-pohon karet mereka yang sudah tidak produktif dan juga tak terawat karena tak ada modal. Lahan ini sesuai rencana tahun lalu akan ditanami karet yang baru yang kualitasnya jauh lebih baik. Tanaman yang kuning menghampar ke kejauhan adalah padi darat. Gunung dan batas hutan lindung masih jauh dari areal pertanian petani ini. (Foto oleh: LTS)"][/caption] [caption id="attachment_53631" align="aligncenter" width="300" caption="Bibit karet yang sudah siap ditanami di lahan petani Molhum; bibit ini diperoleh dari perkebunan karet di sekitar Pematang Siantar. Bibit ini merupakan bantuan sosial Keuskupan Sibolga bagi petani di Molhum Barus Utara sehingga mereka di sana dapat memperbaiki tarap hidup perekonomian mereka. Sejak dahulu kala institusi agama seperti gereja ya memang sudah biasa membantu orang-orang miskin, apa yang berlangsung di Barus Utara sama sekali bukan hal baru. Gunung-gunung masih jauh di sana, sekitar 10-an km dari lahan warga ini; di sanalah, di gunung sana ada tanda-tanda BHL - Batas Hutan Lindung. (Foto oleh: LTS) "][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun