Inilah salah satu "kelebihan" sebagian kaum terdidik-formal di negeri ini, pintar menindas rakyat dengan mengeluarkan berbagai macam dokumen legal-formal untuk membungkam rakyat ke titik nadir.
Dulu....!
[caption id="attachment_40928" align="alignleft" width="300" caption="(Sumber: dari FB Edy Simatupang)"][/caption]
Kini pun, masyarakat terutama yang berada di lapisan paling bawah yang jumlahnya merupakan mayoritas mengalami nasib yang tak beda jauh dengan sekaum di zaman kolonial masa lalu. Kalau dulu yang menjajah adalah Belanda dan kroni-kroninya, maka sekarang adalah bangsa sendiri bertopengkan apa yang disebut negara. Keadaan belakangan ini justru saya kira malah lebih bobrok. Percuma saja negeri ini sudah lama merdeka, 64 tahun? Ternyata formalitas belaka!
Saya mau bicara dari lingkungan yang paling dekat dengan saya saat ini, Sumatra.
Pada pertengahan abad ke-19, Sumatra Timur mulai menjadi salah satu primadona perkebunan. Para pengusaha Eropa mendekati, merayu dan menyuap para sultan yang sebenarnya secara ekonomi, sosial dan politik di wilayah ini tak beda jauh dengan masyarakat pada umumnya. Para pengusaha Eropah bekerja sama dengan pemerintah kolonial mengatur sedemikian rupa agar apa yang mereka lakukan di wilayah ini nampak legal. Bagaimana pun, pada waktu itu hingga kemerdekaan, di Hindia-Belanda ada media massa. Di Belanda sendiri ada partai-partai yang masih peduli pada kemanusiaan dan memantau walau terbatas apa yang berlangsung di negeri jajahan.
Para pengusaha Eropa memanjakan para sultan yang tiba-tiba menjadi kaya raya. Mereka menyewakan tanah yang sangat luas kepada pengusa Eropa yang menjadi tuan-tuan kebun. Padahal, para sultan itu tak punya hak atas tanah itu. Belanda dan para tuan kebon yang sangat tergiur dengan keuntungan dari tanah Sumatra mengatur sedemikian rupa seolah-olah para sultan itulah pemilik tanah untuk memudahkan mereka mengeksploitasi. Semua dokumen yang disebut legal mereka persiapkan dengan rapi.
Para buruh perkebunan awalnya didatangkan dari Daratan Cina. Kemudian, karena biaya yang semakin mahal, didatangkan dari Jawa, dari daerah-daerah tandus di pulau paling padat di negeri ini. Tanah Deli menjadi sebuah kata yang sangat terkenal pada masa itu baik bagi yang belum tahu situasi yang sesungguhnya maupun yang sudah tahu. Para buruh dari Cina dan Jawa itulah yang membuka hutan-hutan tropis yang masih asli dan alami di Sumatra Timur; bertaruh nyawa dan darah mereka sendiri. Penderitaan mereka sebenarnya tak terperikan. Ujung penderitaan itu sempat terekam oleh seorang pengacara Belanda di ibukota keresidenan Sumatra Timur, J. van den Brand yang menerbitkan brosur yang terkenal pada masa itu: De Millioenen uit Deli. Brosur ini menggemparkan di Belanda.
Van den Brand membongkar persekutuan antara pengusaha, para amtenar (pemerintah) dalam memeras buruh sampai mati. Nasib sebagian besar buruh pada masa itu jauh lebih mengenaskan daripada nasib hewan di pejagalan.
Kini....?
Pernah saya naik bis dari Pematang Siantar ke Bengkulu. Sepanjang jalan, hampir sepanjang jalan berjejer kelapa sawit. Di jalan, saya berjanji: “Tak akan lagi saya mengonsumsi minyak goreng dari kelapa sawit.” Sedapat mungkin, saya membeli minyak goreng dari kelapa biasa (kopra) yang harganya lebih mahal tetapi jauh lebih gurih dan enak daripada minyak goreng yang terbuat dari kelapa sawit.
[caption id="attachment_40929" align="alignright" width="300" caption="((Sumber: dari FB Edy Simatupang --- Ps Rantinus Manalu yang paling depan sedang mencatat di tengah warga miskin Sibolga)"][/caption]
Kalau kita biarkan, semua lahan di daratan Sumatra bisa berubah menjadi perkebunan kelapa sawit yang pasti merupakan sebuah bencana yang sangat besar. Flora dan fauna punah. Bagaimana mungkin kita bisa mengganti kepunahan yang sangat mahal ini? Para pengusaha hanya memikirkan keuntungan material yang sebenarnya hanya bersifat sementara, sama sekali seperti tak punya perasaan bahwa hutan merupakan penyokong utama kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.
Nasib para pekerja di perkebunan-perkebunan termasuk kebun sawit tak begitu berbeda dengan nasib para kuli di zaman kolonial. Cuma, ya, jarang kita dengar atau lihat secara langsung bagaimana perihnya kehidupan mereka.
[caption id="attachment_40932" align="alignleft" width="300" caption="Perumahan PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Sopo Komil Dairi. Limbah tambang dari pegunungan akan merusak sawah ini ke masa depan. (Foto oleh: LTS) "][/caption]
Di Dairi gunung-gunung dibombardir dan digali untuk mengeruk timah dari perut bumi. Penduduk lokal menjadi buruh di atas tanah mereka sendiri. Pengusaha dari luar datang bersama dokumen-dokumen legal-formalistik (akal-akalan) mereka; jelas, negara ada di balik kedatangan para pengusaha ini yang senang bertameng pada slogan-slogan kosong mematikan: investasi dan pertumbuhan ekonomi. Investasi bagi yang datang tetapi bencana bagi penduduk lokal.
Di Dolog Sanggul Kab. Humbang Hasundutan yang terkenal dengan kemenyan sejak berabad-abad silam, PT TPL datang merambah hutan kemenyan warga desa di sana. PT TPL yang bagi saya tak bernurani ini juga datang dengan dokumen-dokumen legal-formalistik mereka yang tentu saja didukung oleh negara dan aparat-aparatnya. Inilah salah satu "kelebihan" sebagian kaum terdidik-formal di negeri ini, pintar menindas rakyat dengan mengeluarkan berbagai macam dokumen legal-formal untuk membungkam rakyat ke titik nadir.
[caption id="attachment_40935" align="alignright" width="300" caption="Tombak haminjon (hutan kemenyan) warga Pandumaan-Sipituhuta, Dolog Sanggul Kab. Humbang Hasundutan yang dirambah PT TPL. (Foto oleh: LTS)"][/caption]
Di Parapat Danau Toba, warga negara asing bisa memiliki sebuah perusahaan bernama PT Aquafarm Nusantara. Perusahaan ikan nila besar-besaran. Ada sebagian orang yang terganggu kalau ada yang protes terhadap pemilik modal dari luar daerah yang datang mengumpulkan keuntungan sebanyak mungkin. Bilang: oh, jangan protes, pemilik modal itu kan sudah memberikan pekerjaan kepada penduduk lokal. Hhhmmm! Penghianat, pikirku. Enak betul sudah tinggal pakai Danau Toba dan meninggalkan limbah seenaknya saja di dalam danau. Masih pula awak harus berterima kasih?
Biarkan penduduk lokal yang mengambil keuntungan dari danau itu dengan cara yang sealami mungkin, bukan pemaksaan bercampur polusi yang akan merusak danau itu. Merusak danau itu berarti sama dengan merusak masa depan bahkan masa sekarang.
Untuk menyebut satu lagi di antara masih banyak kasus di Sumatra Utara saja: Betapa mengherankan bahwa seorang pastor, Rantinus Manalu menjadi tersangka karena mendampingi warga desa warga petani di Purba Tua Sibolga. Tuduhan kepada pastor ini sungguh tak masuk akal bagi mereka yang masih punya akal.
[caption id="attachment_40937" align="alignleft" width="300" caption="(Sumber: FB Edy Simatupang --- Ps Rantinus Manalu Pr, berdiri di sebelah kiri, yang tidak memakai topi). "][/caption]
Negara ini melalui aparat-aparatnya bisa menjadi tidak punya akal apalagi budi. Pastor ini justru melakukan tugas dan kewajiban negara yang mustinya melindungi dan menjamin hak-hak hidup warga negara terutama mereka yang miskin. Betapa mengherankan sebab justru negara melalui aparat-aparatnya menangkap Pastor Rantinus Manalu dan menjadikannya tersangka. Benar-benar sebuah dagelan yang sangat menyedihkan!
Kabar terakhir yang saya baca dari FB Ito Robert Manurung, Ps Rantinus Manalu Pr sekarang sudah kembali ke Sibolga, tidak lagi dalam tahanan polisi di Medan. Pastor pejuang bagi kaum miskin ini akan diperiksa lagi oleh polisi pada tanggal 14 Januari ini. Kita kawal pemeriksaan ini bersama-sama agar negara tidak seenaknya bertindak terhadap warga yang justru menjadi pembela kaum papa.
Justru kan negara (aparaturnya) yang harus menjadi tersangka sebab tidak menjalankan amanat UUD 45 yang menjamin bahwa sumber-sumber perekonomian yang ada di negeri ini harus dipergunakan untuk kepentingan rakyat bukan pengusaha yang justru lebih sering menjadi pemeras dan penindas rakyat. Para pengusaha bisa lenggang kangkung karena negara mengelus-elus para pengusaha itu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H