Hari Senin di awal minggu ini, adek perempuan saya menunjukkan Kompas hl.7 pada saya di mana terdapat surat dari Annie M Bratakusuma berjudul: Obat Leukemia Tertahan di Bea dan Cukai.
Perasaan saya mendidih membaca isi surat itu yang berisi bagaimana Ibu Ai Rukiah dan beberapa pasien penderita leukemia lainnya tidak bisa memperoleh GLIVEC sejak bulan Agustus 2009 lewat Yayasan Kanker Indonesia (YKI) di Sunter Jakarta. Ibu Ai Rukiah didiagnosis oleh dokter di RS Hasan Sadikin Bandung positif menderita chronic myelogenous leukaemia (CML). Penderita CML boleh meminum tablet glivec-imatinib sesuai resep dokter.
Leukemia itu sejenis kanker-darah yang kalau penderitanya tidak memperoleh perawatan yang tepat dan ketat bisa berakibat fatal. Kondisi darah mereka tidak seperti orang normal; mereka biasanya pucat, mudah lelah dan gampan stress serta bisa sangat sensitif.
Ibu Ai Rukiah seperti yang disebutkan oleh Annie dapat memperoleh glivec pada tiga bulan pertama dengan lancar dari YKI tetapi setelah itu tidak lagi. YKI menjelaskan bahwa obat itu tertahan di bea cukai.
PENGALAMAN
Adek saya yang menunjukkan surat Annie yang saya maksud di awal tulisan ini menderita leukemia persis jenis yang sama dengan Ibu Ai Rukiah. Adek saya dipastikan menderita leukemia di RS Elisabeth Medan Oktober tahun lalu. Jadi saya bisa bayangkan bagaimana rasanya menjadi Ibu Ai Rukiah termasuk bagaimana rasanya menjadi anggota keluarganya. Kalau Anda punya anggota keluarga yang pernah atau sedang menderita kanker jenis apa saja dan apalagi Anda yang merawat, saya kira Anda akan lebih mudah mengerti apa yang saya maksud sebab saya tidak yakin apakah saya mampu mengungkapkan perasaan ini dalam bentuk kata-kata tertulis di sini.
Kalau proses pengobatan berjalan lancar sejak seseorang didiagnosis kena kanker, lancar dalam arti ada cukup informasi, rumah sakit yang bagus, dan tentu saja dukungan dana dari keluarga dan handai taulan, keadaan ini akan sangat membantu pasien dan keluarganya. Begitupun, terutama pada beberapa bulan pertama, hati dan pikiran bisa sangat galau. Saya masih ingat bagaimana keadaan saya begitu mengetahui dari dokter di RS Elisabeth bahwa adek saya kena leukemia. Tak terkatakanlah. Pada waktu itu, karena belum pernah secara langsung berhadapan dan mengurus orang yang kena kanker, saya punya pengetahuan terbatas soal leukemia. Yang saya tahu itu penyakit yang menyeramkan. Anak perempuan paman saya persis seusia dengan adek perempuan saya meninggal pada usia 4 tahun karena leukemia. Itu sudah 20 tahun yang lalu. Saya langsung ingat sepupu saya itu dan saya kira adek saya juga begitu dokter mengatakan bahwa adek saya kena leukemia.
Saya waktu itu berhapar dokter itu tidak mengatakan secara langsung di depan adek saya bahwa dia kena leukemia tapi tak bisa saya halangi karena sudah terlanjur. Dokter itu mungkin karena terlalu banyak bekerja, nampak lelah. Dia berusaha menenangkan adek saya dengan mengatakan, "Tenang ya. Tenang!" Lalu mengatakan bahwa adek saya kena leukemia jenis chronic. Kami begitu dengar kata kronik saja sudah sangat panik. Baru setelah saya search lewat google tentang leukemia dan jenis-jenisnya, saya bisa merasa lebih tenang.
Dokter di RS Elisabeth hanya bisa memprediksi bahwa adek saya kena leukemia jenis CML. Untuk memastikan secara akurat, tidak ada cukup alat di rumah sakit ini. Saya bertanya kepada dokter itu ke mana kami sebaiknya pergi dan meminta di mana rumah sakit yang bagus yang bisa menolong adek saya. Dokter di RS ini lalu menganjurkan kami pergi ke Penang.
Jantung saya berdegub-degub membayangkan proses yang akan terjadi termasuk biaya pengobatan yang saya belum tahu berapa dan sebagian harus dari mana. Nurani saya mengatakan saya harus melakukan yang paling baik. Saya yakin kalau Anda berada di posisi saya, Anda pun akan melakukan hal yang sama. Adek saya tak punya ansuransi kesehatan, dia baru selesai kuliah di salah satu universitas negeri di Medan. Nanti, setelah saya mulai mengurus sebuah ansuransi kesehatan untuk adek saya, mereka bilang tidak bisa karena sudah ada leukemianya. Alamaaak! Kejam nian!
Adek saya beruntung, kami beruntung. Pertama dan terutama karena dokter yang menanganinya adalah seorang dokter yang hebat. Ada hal-hal sederhana yang membuat kami mengatakan bahwa dokter itu hebat. Terutama pada awal-awal pengobatan dokter itu mengatakan: "Jangan kuatir!" Lain kali, "Jangan pusingkan soal ini; kalau semua orang diperiksa, ada saja penyakit setiap orang. Adek hanya punya satu jenis penyakit ini, jadi kita fokus untuk mengobatinya." Di pertemuan yang lain, dokter ini pernah mengatakan pada saya, "You are a great sister!" Pujian semacam itu sangat berguna, mampu merontokkan rasa lelah dan kuatir yang menggumpal.