Mohon tunggu...
Lily Yulianti Farid
Lily Yulianti Farid Mohon Tunggu... -

Jurnalis dan penulis fiksi yang aktif mengembangkan jurnalisme warga (citizen journalism, CJ). Salah seorang pendiri www.panyingkul.com, portal CJ pertama di Indonesia, yang berbasis di Makassar, kolumnis di Ohmynews International, situs CJ terbesar di dunia yang bermarkas di Seoul dan Nytid, majalah berita di Oslo, Norwegia. Menulis blog dan menayangkan tulisannya di www.lilyyuliantifarid.com. Pernah bekerja di Harian Kompas, Radio Australia Melbourne dan Radio Jepang NHK World, Tokyo.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Posting, Not Writing!

30 Maret 2009   07:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:15 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ini sebuah tantangan dari Workshop Social Media yang sedang saya ikuti di kampus MIT, Cambdrige.

"Ayo, ayo, teman-teman jurnalis yang selalu mengagungkan akurasi, well-researched craft, tanggalkan sejenak semua aturan itu, coba ikuti kami: lebih rileks menghadapi media baru! Bisakah kalian menggeser paradigma melihat media alternatif ini?"

Anjuran itu datang dari Susan Mernit dan Deanna Zandt, dua New Media Strategist yang membuat beberapa wartawan profesional saling berpandangan, lalu memilih menggelengkan kepala. "Tidak, kami menulis dengan banyak aturan dan pertimbangan. Ada standar yang harus diikuti, ada etika..." 

Susan dan Deanna tertawa saja. Menghadapi keengganan wartawan untuk terjun bebas di New Media adalah hal yang biasa bagi mereka. Seperti praktisi New Media lainnya, mereka memperlakukan blog, SNS, Twitter, Flickr, Slide Share dengan segenap optimisme bahwa di medan inilah reputasi, rekomendasi serta referensi bertautan dan membuat kerja kolaboratif menjadi lebih mudah digagas dan dilaksanakan.  Cara pandang mereka memang berbeda: di layar monitor, bukan hanya teks penting, resmi dan kaku yang harusnya berbaris rapi, tapi juga teks tidak resmi dan yang paling tidak penting didunia.  Kaum konservatif menyebutnya "informasi sampah"  tapi di tangan kedua orang ini ada "alat menyaring sampah" berupa media literacy yang memadai.

"Kalau Anda memiliki pengetahuan tentang New Media yang memadai, ia akan mendorong Anda melesatkan karir, mempertajam ilmu dan mengasah wawasan... tapi bila Anda sekedar tahu serba sedikit tentang berbagai hal yang ditawarkan di dunia cyber ini, Anda bisa berakhir sebagai pecandu internet yang tidak produktif atau malah menjadi bagian dari cyber crime!" begitu kata Susan.

Bila dunia cyber adalah lautan luas, maka Anda harus punya kecakapan mengarunginya. Bukan asal menceburkan diri. Berenanglah sambil melakukan seleksi, memilih referensi dan perluas wawasan agar menjadi matured and smart netizen.

Bisakah saya lebih rileks? Bisakah saya menjawab tantangan Susan dan Deanna.

Come on! Posting, not Writing!

Saya kira tak ada salahnya! dan inilah yang saya "posting" di Kompasiana. Tulisan yang acak-acakan, menurut standar yang biasanya selalu saya berlakukan pada diri sendiri. Tapi kenapa harus merasa bersalah? Tak selalu harus cantik dan rapih, bukan?

Reputasi, rekomendasi dan  referensi. Tiga hal ini yang bisa kita bangun dengan Social Media. 

Cobalah, dalam seminggu misalnya, tayangkan sesuatu di blog Anda, tentang topik yang betul-betul Anda kuasai atau Anda minati. Setelah seminggu, tambah menjadi sebulan. Lalu buatlah jadwal. Jadikan rutinitas. Setelah tiga bulan, tengok postingan itu. Lihatlah mozaik-mozaik  yang sedang Anda susun. Inilah reputasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun