Mohon tunggu...
Lily Yulianti Farid
Lily Yulianti Farid Mohon Tunggu... -

Jurnalis dan penulis fiksi yang aktif mengembangkan jurnalisme warga (citizen journalism, CJ). Salah seorang pendiri www.panyingkul.com, portal CJ pertama di Indonesia, yang berbasis di Makassar, kolumnis di Ohmynews International, situs CJ terbesar di dunia yang bermarkas di Seoul dan Nytid, majalah berita di Oslo, Norwegia. Menulis blog dan menayangkan tulisannya di www.lilyyuliantifarid.com. Pernah bekerja di Harian Kompas, Radio Australia Melbourne dan Radio Jepang NHK World, Tokyo.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ditraktir Pengangguran

26 Juli 2009   06:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:54 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ini cerita liburan tahun lalu dari Silke, kawan saya di Bonn. Ia penasaran pada Vietnam dan Indonesia. Maka, sebagian gajinya ditabung untuk menjadwalkan liburan sebulan di kedua negara. Dan, didekatinya saya serta seorang kawan Vietnam untuk mencari tahu ini itu tentang kedua negara. Di tangannya ada Lonely Planet, kitab suci para pelancong.

Saran saya , sempatkanlah homestay di desa, jangan datang sekitar hari pemilihan umum atau di saat puncak liburan.

Silke pun menuju Bali. Memilih Karangasem, ia tinggal 2 minggu di sebuah keluarga sederhana yang dikenalnya dari temannya teman dari kitaran pergaulan teman yang lain lagi.

Sepulang dari liburan, ia menulis email penuh semangat:

"Saya dijamu makan pagi, siang, malam selama dua minggu oleh sepasang suami istri pemilik rumah yang.....pengangguran!"

"Kamu tak membayar mereka?"

"Mereka tak mau...katanya makanan banyak kok, jangan khawatir....pesta adat susul menyusul, belum lagi acara lain ....cukup bayar biaya kamar saja, dan itupun alamak......murahnya!"

Saya katakan pada Silke, bangsa Indonesia memang baik, ramah dan tulus. Apalagi orang desa. Beruntung ia merasakan pengalaman yang menyenangkan.

Sebagai kawan yang akrab, kami terkadang dengan rileks mengolok-olok stereotipe orang berdasarkan bangsa. Hanya untuk percakapan pribadi, tentu saja. Silke, saya menyebutnya Si Jerman Kikir. Sementara saya, dipanggilnya, Si Jam Karet tapi Royal.

Soal Jerman yang kikir dan tak mau rugi, ia sendiri yang menjelaskan lewat kisah humor tentang turis Jerman di tempat-tempat wisata, yang konon mengendap-endap tengah malam untuk menyampirkan handuknya di kursi tepi kolam renang, agar keesokan harinya si Jerman itu aman mendapat kapling terbaik dan tak perlu berebutan dengan pengguna kolam renang lainnya.

Ketika ia bercerita tentang nasib baik yang menyertainya selama tinggal di Karang Asem, tentu Silke menggunakan kacamata "Si Jerman Kikir" yang jujur diakuinya adalah bagian dari dirinya. Itulah mengapa ia begitu semangat menceritakan betapa "wonderful"-nya bangsa Indonesia kepada teman kami lainnya. "You should come...you should come..." ia mengompori teman lainnya. Di hari-hari awal kepulangannya dari Bali, Silke seperti baru saja dinobatkan menjadi Duta Pariwisata Indonesia atau semacamnya. "Liburan hemat a la desa...sudah saya coba. Ajaib, ajaib, dijamu keluarga pengangguran.."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun