Indonesia Menjadi negara yang tercatat dengan minat baca yang rendah. Kabarnya lebih rendah dari negara Kamboja.
Miris ya melihat hal ini, namun sepertinya faktanya memang demikian. Secara pribadi saya sering melihat sebuah percakapan yang mendukung hal demikian.
Misal, ketika ada sebuah informasi di sebuah grup WhatsApp maka tetap akan banyak pertanyaan dari yang diinformasikan. Yang jawaban dari pertanyaan itu sudah ada di informasikan di pemberitahuan.
Hemm, kadang gemes gitu ya melihat pertanyaan - pertanyaan itu, dibaca nda sich, sabar nda sich saat membaca kok banyak yang kelewat, atau pemahaman bacaan yang kurang mencermati bacaan.
Faktanya memang demikian, banyak yang membaca dengan emosi, dengan beragam emoticon yang semakin hari banyak variasinya. Banyak yang tidak tuntas membaca.
Makanya tak heran, pemerintah sekarang menggencarkan literasi. Sebuah program yang cakupannya tidak hanya literasi membaca teks an sich. Namun beragam jenis literasi yang ada saat ini.Â
Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Indonesia gawat literasi. Info tersebar dengan cepat termasuk informasi hoax.Â
Masyarakat main share tanpa meneliti terlebih dahulu kebenaran informasi yang disebar tersebut. Entah karena emosi atau memang benar gawat literasi yang dimaksud.
Maka saya mengajak kepada diri saya sendiri juga masyarakat untuk kembali belajar membaca. Tak hanya membaca teks namun juga membaca konteks.
Membaca teks berarti memahami informasi hasil bacaan dari teks yang dibaca. Karena sekarang membaca tidak hanya dari sebuah buku. Buku elektronik juga sekarang semakin beragam, bukan?!.
apalagi membaca konteks, membaca situasi yang sedang kita alami. Membaca konteks dari yang orang bicarakan, membaca situasi orang sekitar kita. Hal itu juga harus kita analisis.