Mohon tunggu...
Lilis Yuliani
Lilis Yuliani Mohon Tunggu... wiraswasta -

perempuan jawa yang ingin menjelajah samudera ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Untung Ada BPJS Kesehatan

2 Agustus 2015   08:29 Diperbarui: 12 Agustus 2015   07:14 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maret 2014, kesehatan bapak saya semakin menurun. Beliau sudah mengidap maag sejak lama. Tapi belakangan, asam lambungnya sering mudah naik. Padahal setiap harinya makan sudah diatur sedemikian rupa. Mungkin karena faktor ‘pikiran’ atau stres, jadi asam lambungnya terpengaruh.

Hal itu terjadi beberapa bulan. Berbagai cara kami coba, mulai dari mengatur lagi pola makannya, periksa ke dokter dan sering berkonsultasi, bahkan terkadang melakukan saran beberapa teman yang memiliki pengalaman serupa. Suasana di rumah juga dibuat se’cair’ mungkin. Lebih banyak canda dan komunikasi lebih baik, setidaknya agar tidak membebani pikiran beliau. Perlahan, cara itu menunjukkan hasil. Asam lambung bapak saya mulai normal.

Tapi hal yang tidak kami duga tiba-tiba datang. Akhir Mei 2014, asam lambungnya tiba-tiba meningkat lagi. Bukan karena salah makan, atau stress yang terlalu kuat, tapi karena kaget ketika mendengarkan teriakan tetangga di depan rumah. Tapi siapa sangka, dampaknya justru lebih parah.

Selain rasa perih, mual, dan tidak nyaman di lambung, beliau merasakan detak jantungnya meningkat, lemas, dan gemetar. Keluarga segera memeriksakannya, ke puskesmas dan dokter setempat. Yang menjadi perhatian saya saat itu, tensi darahnya naik dan turun secara drastis. Saya curiga ada yang tidak beres dengan jantung beliau.

Setengah takut, setengah khawatir. Saya bilang ke ibu tentang kecurigaan itu, dan menyarankan untuk memeriksakan jantungnya. Setelah saya jelaskan lebih lanjut, ibu setuju dengan saran saya. Jika terdeteksi sejak dini, mungkin akan memudahkan dalam penangannya. Begitu pikiran kami saat itu. Tapi hal itu tidak serta merta dapat kami lakukan saat itu juga. Biaya menjadi kendala bagi kami.

Sementara ibu mencari biaya untuk ke rumah sakit, saya mengantar bapak pergi ke puskesmas untuk rekam jantung. Dokter di puskesmas menjelaskan ada masalah jantungnya, mungkin itu juga pengaruh dari asam lambung. Beliau menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lengkap di rumah sakit daerah.

Dengan berbagai usaha mencari biaya, akhirnya bapak saya bisa periksa di rumah sakit daerah di Semarang. Dari pemeriksaan dokter di sana, ternyata memang ada masalah di jantungnya. Sejak saat itu, bapak harus rajin mengkonsumsi obat dan kontrol setiap bulan. Artinya, kami harus menyiapkan sedikitnya 700.000 rupiah setiap bulannya. Bagi kami, itu bukan angka yang kecil, tapi harus usahakan.

Akhir tahun 2014, dokter yang menangani bapak menyarankan melakukan pemeriksaan lebih lanjut di RSUP dr. Kariadi. Karena bapak harus diperiksa lebih lengkap lagi, sedangkan alatnya hanya ada di RSUP. Pemeriksaan lanjut itu dilakukan agar penanganannya lebih tepat, sehingga hasilnya lebih optimal. Mendengar saran tersebut, kami berkonsultasi lebih jauh tentang pemeriksaan di RSUP, sekaligus mencari kisaran biaya yang harus kami siapkan.Saya melihat hal ini lebih serius. Tentu butuh biaya yang tidak sedikit untuk kesana. Padahal kami bukan pegawai dengan gaji yang  ‘nyaman di dompet’. Dokter di rumah sakit daerah menyarankan untuk ikut BPJS Kesehatan saja.

Saya sempat berpikir menempuh jalan pengobatan alternatif atau herbal. Tapi mengingat masalah pasti di jantungnya belum diketahui, saya balik lagi ke penanganan medis. Saya mencari informasi sebanyak mungkin tentang BPJS Kesehatan. Mulai dari manfaatnya, cara menggunakan, cara mendaftar, hingga resiko-resiko yang mungkin ada. Saya juga mencari informasi dari orang-orang yang mempunyai pengalaman dengan BPJS.

BPJS Kesehatan ini menurut saya kebijakan yang bagus untuk menangani masalah kesehatan di masyarakat. Menurut pemahaman saya, prinsipnya adalah gotong royong dan saling membantu. Saya menggambarkannya seperti subsidi silang. Hal seperti ini juga saya lakukan di pesantren dulu. Kami membayar dana kesehatan, untuk menolong teman-teman yang sakit, juga menolong diri kami sendiri. Jika suatu hari sakit, kami tidak perlu takut ke klinik pesantren karena tidak ada uang. Karena kami (para santri) sudah saling paham, jadi kami sama-sama ikhlas membayar. Hal itu terdengar seperti shodaqoh untuk sehat, bagi saya. Saya melihat prinsip ini juga serupa yang digunakan di BPJS Kesehatan. Bedanya mungkin di pengelolaannya. Karena BPJS Kesehatan ruang lingkupnya sangat luas dan menyangkut hajat hidup masyarakat secara umum.

Kebijakan di awal 2015, pendaftaran peserta BPJS tidak lagi per seorangan. Tetapi secara kolektif, mendaftarkan semua anggota keluarga. Saya menjelaskan pada mereka tentang BPJS Kesehatan, dan mendiskusikan hal ini. Akhirnya, awal februari 2015 saya mendaftarkan keluarga saya di kantor BPJS Kesehatan di kabupaten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun