Mohon tunggu...
Lilis Sintiasari
Lilis Sintiasari Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

Solo Moviegoer and solo traveler

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

"Udah Ah Capek, Mau Nikah Aja!"

7 Februari 2021   09:29 Diperbarui: 10 Februari 2021   17:14 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
freepik.com/freepic.diller

Udah ah, capek. Mau nikah aja!

Hayo siapa nih yang suka bilang kayak gini? Biasanya sih perempuan paling banyak ngomong mau nikah aja kalau udah capek.

Pernikahan dini seolah-oleh menjadi penyakit modern saat ini. Pokoknya apapun masalahnya solusinya adalah nikah, beres. Padahal kan tidak seperti itu, ada hal jauh lebih penting yaitu persiapan menikah. Bukan kemauan untuk menikah tetapi persiapannya. Masih banyak sekali orang berpikir dengan menikah pasti akan lebih bahagia dari sebelumnya.

Teman-teman tentu bisa melihat banyak sekali pernikahan di media social, televisi, majalah dan masih banyak lagi. Pastinya teman-teman juga ingin segera merasakan kebahagiaan itu. Padahal kan, yang dilihat itu hanya sebuah resepsi dalam acara pernikahan.

Namanya juga resepsi tentu semua orang pasti terlihat sangat bahagia, bahkan mungkin orang paling bahagia di dunia eaaa... Foto-foto, bajunya mewah, pestanya rame, dan masih banyak lagi.

Namun, perlu teman-teman tahu jika berbicara tentang pernikahan itu lebih banyak sesak daripada rasa bahagia nya. Karena memang kebahagiaan pernikahan adanya di pertengahan menuju akhir. Teman-teman dan pasangan justru harus memiliki puluhan tahun untuk dapat sampai bahagia seperti di awal lagi.

Contohnya nih, di pertengahan awal tuh sangat berat, begitu berat. Mulai dari kelahiran anak, peningkatan karier, tekanan finansial, kemudian anak sekolah atau kuliah.

Di dalam itu semua tentu banyak sekali sesak, derita, adaptasi, komunikasi, konflik, dan masih banyak lagi. Pada pertengahan, baru mulai lagi meningkat rasa bahagia.

Sebenarnya fenomena pernikahan dini adalah penyakit datang dari orang-orang yang sesungguhnya belum menemukan kebahagiaan sesuai haparan. Mungkin karena belum mendapatkan uang banyak, karena belum mendapat posisi yang diinginkan, belum populer, dan masih banyak lagi.

Jadi, karena memang sulit untuk mendapatkan itu semua  ya mau cepat-cepat nikah aja. Karena yang ada di pikiran orang tersebut, kalau udah nikah, semua masalah selesai, semuanya sempurna.

Pernikahan dini kan juga banyak faktor, misalnya menghindari zina, takut kehamilannya berisiko, takut dibilang udah tua gak nikah-nikah, dan masih banyak faktor lainnya. Namun, yang kali ini dibahas faktor utamanya adalah BELUM BAHAGIA.

Kalau memang sudah bahagia, menikah ya gak apa-apa, bagus itu, untuk apa menunda kebahagiaan? Iya gak?

Namun, sebaliknya jika belum bahagia kemudian memaksakan menikah, tentu gak akan bahagia. Karena kita menggantungkan harapan, keinginan, kebahagiaan kita diisi oleh pasangan.

Kalau awalnya aja udah gini pasti nanti timbul kata-kata "Kok kamu gini sih?", "Kok gak bertanggung jawab?", "Kok gak memberikan kesejahteraan seperti seharusnya?" Inilah yang membuat pernikahan dini itu menimbulkan sebuah masalah besar.

Di sini saya tidak membantah bahwa pernikahan dini itu bisa bahagia, tidak. Namun, ketika berlomba-lomba untuk menikah, berlomba-lomba untuk bahagia dan menggunakan pernikahan itu sebagai jalur menuju kebahagiaan, itulah yang akan menjadi masalah besar.

Dari masalah pernikahan dini ini justru yang membuat tingkat perceraian semakin tinggi. Banyak orang berpikir kalau sudah menikah pasti cepat happy. Kalau sudah menikah, semua impian pasti akan tercapai dan semuanya berakhir dengan indah.

Padahal menurut data kebahagiaan pasangan, marital satisfaction itu menurun semenjak hari pernikahan terus sampai ke tahun 20 bahkan tahun ke 30.

Harusnya sih jangan diburu-buru, jangan dipaksakan, luangkan waktu, pastikan sudah lebih mengenali kemampuan diri, mengenali pasangan. Jadi, jangan pernah takut nanti keburu tua, takut dengan tekanan masyarakat khususnya omongan tetangga ya, tekanan dari orangtua, atau lainnya.

Pastikan harus sudah benar-benar siap. Minimal luangkan waktu satu hingga tiga tahun untuk saling mengenal dalam bentuk apapun itu. Jadi, mengenal sampai tiga tahun untuk menjalani hubungan itu. Kalau memang sudah pasti, ya silahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun