Mohon tunggu...
Lilis Nur Mukhlisoh
Lilis Nur Mukhlisoh Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Simple is best

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Marriage is Scary: Bagaimana Simbol Kebahagiaan Bergeser Menjadi Simbol yang Menakutkan

27 September 2024   23:01 Diperbarui: 27 September 2024   23:07 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perselisihan dalam hubungan pernikahan (dok. Alex Green via Pexels)

Belum lama ini, tren "Marriage is Scary" tengah membanjiri media sosial. Dalam tren tersebut, banyak warganet yang membagikan pandangannya tentang bagaimana sebuah pernikahan, yang dulu dianggap sebagai tanda kebahagiaan, kini dipandang dengan lebih skeptis.

Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan. Mengapa pernikahan yang dulu menjadi tujuan hidup bagi banyak orang, tanda cinta dan komitmen seumur hidup, kini perlahan berubah menjadi sesuatu yang menakutkan bagi sebagian orang?

Melalui tren tersebut, banyak warganet yang mengutarakan pendapatnya tentang hubungan pernikahan di dunia yang semakin dewasa ini. Dilansir dari beberapa video yang beredar, beberapa ketakutan yang dirasakan seperti:

  • bagaimana jika berakhir menikahi orang yang salah
  • bagaimana jika pasangan berselingkuh
  • bagaimana jika mendapatkan mertua yang tak ramah
  • bagaimana jika pasangan egois dan tak mau membantu urusan rumah tangga
  • bagaimana jika hidup menjadi terkekang karena ikatan pernikahan

Ketakutan-ketakutan ini tentunya tak muncul secara serta merta. Di media sosial, sudah banyak masalah rumah tangga yang menjadi viral, seperti perselingkuhan, KDRT, kesulitan pasangan dalam berkomitmen, dan lain sebagainya. Inilah yang menjadi latar belakang munculnya ketakutan-ketakutan tersebut.

Melihat dari maraknya kasus konflik rumah tangga, wajar saja untuk merasa takut jika masalah-masalah tersebut terjadi juga pada diri sendiri. Sebab, konflik-konflik ini dapat menimbulkan stres yang tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga memengaruhi kehidupan secara keseluruhan. 

Ketakutan akan pernikahan ini juga erat kaitannya dengan kondisi fobia yang disebut gamophobia. Melansir dari Tribun Kaltim, gamophobia merujuk pada ketakutan untuk berkomitmen, seperti menjalani pernikahan.

Gamophobia bukan hanya merasa cemas atau ragu terhadap komitmen besar seperti pernikahan. Mereka yang mengalami kondisi ini merasakan ketakutan yang sangat mendalam ketika harus menghadapi kenyataan, bahkan terkadang hanya dengan memikirkan berada dalam hubungan yang berkomitmen atau menikah.

Lalu, bagaimana caranya untuk mengatasi masalah ini? Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa takut untuk menikah.

1. Pahami Alasan di Balik Ketakutan

Langkah pertama adalah memahami sumber ketakutan itu sendiri. Apakah takut akan komitmen jangka panjang? Apakah khawatir tentang keuangan, tanggung jawab, atau kehilangan kebebasan? Atau mungkin ada pengalaman masa lalu, seperti perceraian orang tua atau hubungan yang buruk, yang memengaruhi pandangan terhadap pernikahan?

Mengenali akar ketakutan akan membantu dalam memahami bahwa ketakutan itu bukan tanpa alasan. Dengan memahami apa yang menyebabkan rasa takut, solusi pun dapat dengan mudah dicari.

2. Komunikasi dengan Pasangan

Jika sedang dalam hubungan yang serius dan memiliki ketakutan untuk menikah, penting untuk membicarakan perasaan ini dengan pasangan. Komunikasi terbuka adalah kunci untuk mengatasi masalah bersama. Jelaskan dengan jujur apa yang dirasakan dan apa yang membuat ragu. Terkadang, berbicara dengan pasangan dapat memberikan rasa nyaman dan membuat perasaan menjadi lebih siap untuk menghadapi pernikahan.

3. Kelola Ekspektasi

Sering kali, ketakutan terhadap pernikahan muncul karena ekspektasi yang terlalu tinggi. Media sosial dan masyarakat sering kali menggambarkan pernikahan sebagai sesuatu yang sempurna, padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Penting untuk menyadari bahwa pernikahan adalah perjalanan, bukan tujuan akhir. Ada pasang surut, dan itu normal.

Kelola ekspektasi tentang pernikahan. Jangan terlalu terjebak pada gambaran ideal yang tidak realistis. Hal ini karena pernikahan membutuhkan kerja keras, kompromi, dan komunikasi yang baik.

4. Fokus pada Perkembangan Diri

Terkadang, ketakutan untuk menikah berasal dari perasaan yang belum siap atau belum cukup berkembang sebagai individu. Mungkin kita merasa belum mencapai tujuan pribadi atau karier yang diinginkan sebelum menikah. Maka fokuslah pada diri sendiri terlebih dahulu.

5. Perlahan Membangun Kepercayaan

Salah satu alasan umum seseorang takut menikah adalah karena ketakutan akan pengkhianatan atau kegagalan. Dalam hal ini, membangun kepercayaan dengan pasangan adalah langkah penting. Kepercayaan tidak bisa dibangun dalam sehari, tetapi melalui pengalaman bersama, komunikasi yang jujur, dan komitmen untuk saling mendukung.

6. Renungkan Makna Pernikahan

Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda tentang pernikahan. Renungkan apa sebenarnya arti pernikahan bagi diri sendiri. Apakah pernikahan hanyalah sebuah formalitas, atau apakah itu adalah sebuah simbol cinta dan komitmen yang lebih dalam? Jika melihat pernikahan sebagai sesuatu yang positif dan bermakna, maka ketakutan bisa berkurang.

Pertimbangkan pula bahwa pernikahan bukan satu-satunya jalan untuk kebahagiaan. Jika setelah refleksi panjang tapi masih merasa takut atau ragu, tidak ada salahnya menunda atau bahkan mempertimbangkan pilihan hidup yang lain.

Meskipun pernikahan kini lebih sering dipandang sebagai sesuatu yang penuh dengan tantangan dan risiko, namun bagi sebagian orang, pernikahan tetap menjadi simbol kebahagiaan dan tujuan dalam hidup.

Apa pun pilihannya, penting untuk diingat bahwa kebahagiaan sejati datang dari pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri, serta keberanian untuk memilih jalan hidup yang sesuai dengan nilai dan tujuan pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun