Mohon tunggu...
Lilis Hutagalung
Lilis Hutagalung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mempersembahkan Hidup dan Tubuh untuk Seni

14 Juli 2023   19:48 Diperbarui: 17 Agustus 2023   11:22 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang perempuan dari desa Kelandis, penari legong yang memiliki wajah cantik dan anggun. Namanya adalah Ni Pollok. Anak bungsu dari ketiga bersaudara itu menghabiskan masa kecilnya di kampung halamannya dengan hidup yang sangat sederhana. Ni Pollok terus bertumbuh hingga pada saat usia enam setengah tahun ia terpilih menjadi salah satu penari legong-keraton. Disanalah ia memulai perjalanan yang baru. Cerita menarik yang membawa hidupnya semakin jauh. Parasnya yang rupawan dan tariannya kerap kali menjadi pujian yang selalu ia dengar. Ia begitu bahagia. Ni Pollok bertumbuh dan terus bertumbuh, tubuh dan parasnya semakin cantik. Ia memiliki tubuh jangkung dengan bentuk wajah yang memanjang kalau ia tersenyum lesung pipinya akan terukir begitu indah.

Waktu terus berjalan, Ni Pollok menghabiskan waktunya untuk terus menari sepanjang hari. Tahun 1932, tahun yang tidak akan pernah disangka-sangka. Tahun yang akan membuka sebuah cerita dan jalan baru untuk kehidupan Ni Pollok. Tahun itu, seorang pelukis asal Belgia bernama Tuan Adrean Jean Le Mayeur de Merpres datang ke Bali. Ketertarikannya akan keindahan Bali membuatnya ingin mengabadikan Bali ke atas kanvasnya. Ketika itu, Ni Pollok berusia lima belas tahun menari untuk sebuah pesta agama, ternyata Le Mayeur yang berusia tidak muda lagi menatap dengan sepasang bola matanya yang biru. Saat itu juga Le mayeur meminta Ni Pollok menjadi model untuk lukisannya.

Wajah Ni Pollok yang cantik perlahan menghiasi kanvas, menjadi sebuah karya. Hari-harinya yang dulu sebagai penari legong berubah menjadi model yang berjemur selama berjam-jam dibawah terik matahari di pinggir pantai. Lelah tapi ia sangat senang. Le Mayeur yang tidak banyak bicara akan selalu fokus pada lukisan dan pekerjaannya. Namun, ia adalah laki-laki meskipun cukup berumur dibandingkan dengan Ni Pollok yang jauh lebih muda, Le Mayeur jatuh hati pada modelnya itu. Begitu pula dengan Ni Pollok, ia mulai bertanya-tanya kepada Tuhan dan kepada alam. Ia gelisah dengan perasaannya. Bahkan ketika Ni Pollok yang bertelanjang dada terus tertuang ke atas kanvas, hatinya bertanya-tanya tentang cinta. Hingga akhirnya, kebersamaan yang dijalani sepanjang hari sebagai pelukis dan model pada akhirnya berubah menjadi sebuah langkah kaki yang akan menyusuri jalan yang sama sepanjang hidup mereka.

Pada tahun 1935, Le Mayeur menikah dengan Ni Pollok. Pernikahan yang dilaksanakan dengan adat Bali itu mengundang kesedihan bagi Ni Pollok karena tidak memberitahu ibunya. Namun, bagaimana pun juga sejak saat itu Ni Pollok adalah istri dari Tuan Le Mayeur. Ni Pollok menjalani hidupnya yang baru tapi tetap saja ia harus bekerja sebagai model untuk lukisan Le Mayeur. Mereka bekerja dan bersama setiap hari. Langit Sanur dan ombak menjadi saksi bagaimana kisah cinta tuan bermata biru dengan seorang penari legong dari Kelandis.

Le Mayeur adalah seniman yang hebat, ia dikagumi dimana-mana. Namun tidak ada yang tahu bagaimana dengan modelnya, Ni Pollok. Meskipun begitu, Ni Pollok tetap bangga pada suaminya. Suatu ketika, Ni Pollok menyampaikan keinginannya. Ia ingin mempunyai anak dan menjadi seorang ibu. Sayangnya, Le Mayeur tidak setuju, baginya biarlah hidup dihabiskan untuk seni. Terkadang ada hal ada yang sulit untuk diterima, Ni Pollok merasa sangat sedih. Seorang wanita sederhana sepertinya akan mengorbankan tubuhnya hanya untuk menjadi seni diatas kanvas. Bagaimana rasanya menjadi seorang wanita ketika dinding perut diisi oleh makhluk kecil yang lucu, dan bagaimana bahagianya bernyanyi bersama anak sebelum tidur? Sebagai wanita ia ingin dipanggil ibu. Ni Pollok tidak terima, ia bahkan tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Memberikan hidup seutuhnya untuk seni? Mengapa seni lebih agung daripada kehidupan. Mengapa Seni lebih berharga daripada seorang anak. Ni Pollok tidak mengerti dengan kehidupan seperti apa yang ia jalani. Hidup hanya untuk dituangkan ke atas kanvas. Tubuhnya yang indah hanya akan menjadi sebuah seni.

Namun, apalah daya Ni Pollok sangat mencintai Le Mayeur. Demi cintanya ia harus menerima kenyataan yang menyedihkan. Berjam-jam, berhari-hari, hingga bertahun-tahun Ni Pollok hanya akan menjalani hidup sebagai model. Lalu untuk apa Le Mayeur menikahinya, bukankah anak adalah buah dari cinta? Semakin Ni Pollok memikirkannya, ia akan semakin bingung dan sedih. Ia dengan hati yang lapang mempersembahkan hidup dan tubuh untuk Le Mayeur dan lukisannya. Seiring waktu berjalan, ia terus merasakan cinta dan kepedulian dari sang suami meskipun ada satu hal yang membuat hidup terasa kosong, yaitu seorang anak.

Bertahun-tahun perjalanan hidup telah dilewati bersama, jalan yang semakin jauh sudah disusuri. Suka dan duka pun hanya akan menjadi sebuah kenangan. Pada tahun 1958 pada akhir bulan Mei, Le Mayeur menghembuskan nafas terakhirnya. Ia meninggal dengan tenang di negara asalnya, di Belgia. Duka yang amat dalam itu akan terus membekas di hati Ni Pollok. Ni Pollok hanya bisa menatap pantai Sanur, laut, ombak, dan langit yang sama ketika bersama Le Mayeur. Tidak ada yang berubah, Laut sanur masih tetap seperti dulu, Langit biru pun masih sama, kecuali hati yang semakin meredup. Dua puluh enam tahun menjadi model, dua puluh tiga tahun menjadi seorang istri. Selama itu Ni Pollok dan Le Mayeur menghabiskan hidup bersama hingga akhirnya Ni Pollok ditinggal sendirian untuk menyusuri hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun