Mohon tunggu...
lilis ernawati
lilis ernawati Mohon Tunggu... Dosen - Saya seorang guru/dosen yang saat ini sedang aktif di grup menulis, inovasi pembelajaran dan public speaking. Saat ini sudah berhasil membuat 9 buku antologi dan aktif mengikuti lomba-lomba menulis di beberapa link

Saya mengenyam pendidikan dasar, menengah dan atas di kota kelahiran kuningan. Sedangkan pendidikan tinggi di kota garut

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Sehidup

25 April 2024   08:30 Diperbarui: 25 April 2024   08:37 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini, aktivitas seperti biasa mengantar anak sekolah. kloter pertama pukul 6.20 sudah on the way, perjalanan aman, walau sedikit macet saat masuk kawasan sekolah  karena banyaknya orangtua yang mengantar anaknya.

Setelah itu aku kembali ke rumah dan mengurus anak angkatku, yang baru 4 bulan di tinggal ayahnya meninggal. Dia kelas satu SD. Seperti umumnya emak-emak yang lain, anak kelas satu SD masih betul-betul perlu perhatian, mulai mandi, berpakaian, dandan, makan dan lain-lain. Setelah semuanya siap, aku mengantar anakku yang kecil ini. 

Namun, diperjalanan terjadi tragedi yang memilukan. seekor ular sedang marah di tengah jalan, ada kesedihan tergambar di wajahnya. kekasih hatinya, tergeletak lemas bersimbah darah. Dia, menyerang ke semua pengendara motor yang  akan melewatinya. Sayang, tragedi itu tak sempat aku dokumentasikan. Karena aku tak membawa telepon genggamku. 

Dengan penuh hati-hati aku melewati ular itu. kemarahan dan kesedihan menyatu di wajahnya. Aku merasa iba. Seandainya tragedi itu menimpaku. Mungkin seperti itu pula yang aku lakukan. Aku akan memarahi semua orang yang berada di sekelilingku. Karena telah membunuh pasanganku. Walau kutahu, aku salah. Karena sudah melewati jalanan yang penuh dengan kendaraan.

Sepanjang jalan aku masih memikirkan tragedi ular tersebut. Tak terasa air mataku berderai. Aku tak mengerti mengapa semua itu terjadi. Gambaran wajah kemarahan dan kesedihan ular tersebut menari-nari di mataku. 

Setelah kuantar anakku sekolah, dengan tergesa-gesa kubalikkan motorku. ingin segera kulihat kondisi ular yang marah tadi.

Namun sayang, ular tersebut telah pergi. Dia tinggalkan bangkai pasangannya di tengah jalan.

Dia mengambil keputusan yang benar. Meninggalkan pasangannya yang telah mati, karena hidup harus tetap dijalani, walau kekasih hati telah pergi dipanggil illahi. Kesedihan tak harus terus diratapi, karena seyogyanya setiap makhluk sudah memiliki takdir sendiri. Tak harus mati konyol, ikut terbunuh tabrak lari karena cinta tak perlu  semati, cukup sehidup saja. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun