[caption id="attachment_326968" align="aligncenter" width="560" caption="foto diambil dari cautsar.wordpress.com"][/caption]
Berpeluh suka dan duka kita jalani semua, semata-mata harapkan ridho-Nya….
Dalam keadaan apapun, aku harus berusaha untuk tetap tegar.
Aku tak menginginkan beban itu juga kalian rasakan.
Akupun tak mau meninggalkan kalian tanpa senyuman…
Waktu telah terlewati, meski tak sampai seabad tapi cukup menoreh berjuta kisah melebihi karangan sejarah. Pun kenangan yang baru beberapa hari tertuliskan pada liku masa yang cukup singkat. Mewarnai putihnya lembar kehidupan dalam rentang waktu sesaat. Hijau, biru, ungu, merah, coklat, kuning, nila, jingga, pink, orange, melebihi banyaknya warnai pelangi yang menghiasi langit seusai hujan.
Sang rembulan memunculkan tubuhnya, indah dikelilingi mega dalam keremangan malam. Jutaan bintang memenuhi langit pada sisi lain hamparan langit. Suasana yang tak bisa terbohongi. Kesedihan mengiringi sang Sirius yang tiba-tiba pergi, meninggalkan linangan air mata yang belum mampu berhenti. Dalam kisahnya ia bercerita tentang Sirius, bintang pemancar sinar paling terang dalam gugusan bintang malam. Dialah sang sahabat yang takkan pernah sanggup ia lupakan. Sedikitpun.
***
Aku merasa tubuhku semakin melemah, tapi tidak dengan semangat dan senyuman yang kan selalu ada untuk kalian. Akan kutahan sekuat mungkin agar semuanya terlihat baik-baik saja. Biar aku sendiri yang merasakan. Biar kalian tetap tersenyum, terus menebarkan semangat. Meneruskan perjuangan yang pernah kita buat diawal. Tapi mungkin maaf, aku tak bisa menemani kalian hingga akhir. Karena mungkin langkahku akan berakhir sampai disini. Bukan aku yang menginginkan, tapi mungkin Allah yang telah menakdirkan kalian untuk tetap bertahan meneruskan.
Ini adalah tulisan terakhir yang tercatat di buku harian yang kutemukan di kamarnya. Zahra, sang Sirius yang menamakan dirinya sebagai perumpamaan pelangi.
***
Aku mengenalnya saat kami sama-sama menjadi anggota baru sebuah organisasi dakwah. Aku mengenal Zahra, wanita cantik yang melankolis tapi pemberani. Aku juga mengenal teman-teman lain yang kini menjadi sahabatku, Lila si manja tapi smart, Tia yang pendiam tapi penuh ide, Diana yang cerewet tapi disiplin dan aku Viona, si cuek tapi penyayang. Meskipun kita sering bertengkar karena perbedaan karakter, tapi berusaha saling memahami. Dinamika persahaban yang kini mewarnai kehidupan baruku di kampus.
***
Ukhty2, ayo segera bangun! Sholat tahajud terus beres2, persiapan kunjungan ke UNY nanti. SEMANGAT!!! J
Pagi-pagi jam 3.34, Zahra sudah rajin dengan sms “teror sholihah”nya. Kalau smsnya belum dibalas pasti dia segera misscall, memastikan apakah si penerima pesan sudah bangun. Akhir-akhir ini dia memang sering ‘meneror’ untuk bangun Sholat Tahajud. Kalau aku tanya, alasannya “Mumpung masih sempat. Nanti kalau sudah tidak dibangunkan Allah lagi nggak bisa sholat Tahajud”. Subhanallah. Kalau sudah hidayah memang takkan kemana.
Kita berangkat ke UNY jam 08.07 pagi. Kebetulan Zahra duduk disampingku. Sampai setengah perjalanan ia masih nampak ceria, meski wajahnya terlihat agak pucat dan beberapa kali memegangi kepalanya. Ketika aku tanya apa dia sakit, dia hanya menjawab, “Nggak kok. Mungkin karena telat tidur, jadi jam biologisnya agak terganggu.” Sampai pulang Alhamdulillah dia baik-baik saja, hanya saja selama perjalanan dia banyak tidur. Mungkin dia kecapaian, karena aku dengar kemarin ada lomba adik-adik TPA di desanya. Dia tak mungkin melewatkannya. Apalagi kuketahui dia menyukai anak kecil. Tapi pun kebersamaan bersama sahabat tak mungkin ia tinggalkan pula. Subhanallah, Sang Sirius. Sinarmu mulai kurasakan.
***
Dua minggu berikutnya ada acara mendaki di Gunung Purba, Gunung Kidul, Jogja. Seperti biasanya, malam hari sebelum berangkat sms, “teror sholihah” dari Zahra tak absen menyambangi handphone sahabat-sahabatnya. Kali ini Diana tak ikut karena kakak sepupunya menikah. Tia juga izin karena ada agenda di pondoknya yang tidak bisa ditinggalkan. Jadilah kita bertiga yang berangkat, aku, Zahra dan Lila. Dalam perjalanan, Lila terlihat murung. Kita semua mendekatinya, menanyakan apa gerangan yang membuatnya galau. Namun ia masih tetap diam dan menggelengkan kepalanya. “Ya sudah, kita biarkan dia tenang dulu sampai dia mau cerita.”, Zahra memberi usulan. Kita manut saja. Akhirnya Lila mau berbagi padaku dan Zahra yang kebetulan kita satu tempat duduk bertiga.
“Ukhty, aku galau. Keluargaku dirumah banyak menaruh harapan padaku disini, tapi diisini rasanya aku biasa-biasa saja, semangatku pun terasa biasa-biasa saja, tak banyak yang bisa kulakukan. Kadang aku kecewa pada diriku sendiri. Aku juga ingin seperti mereka yang hebat. Apa aku bisa? Rasanya aku hanya berandai ”, jelasnya sambil sesekali tersedu.
“Allah itu mengikuti prasangka hamba-Nya, karena itu berprasangkalah yang positif termasuk pada mimpimu. Yakinlah. Karena keyakinan itu adalah doa yang paling ampuh untuk melawan segala ketidakmungkinan. Luruskan niat karena Allah. Mintalah kekuatan kepada allah untuk melaluinya. Bismillah, pasti bisa ukhty. Kita akan terus memberimu semangat”, Zahra mencoba menyejukkan hatinya.
“Iya, kita pasti akan terus menyemangatimu.”, aku juga mencoba menenangkan hatinya.
Sungguh, mendengar penuturan Zahra yang tulus, hatiku sendiri saja merasa tersentil mendengarnya. Kata-katanya mampu menggerakkan dinding hatiku yang mungkin selama ini kaku. Sampai sekarang aku masih mengingatnya.
Sejak mendapat nasehat dari Zahra, Lila mulai bisa tersenyum. Bara asa mulai muncul lagi di hatinya. Secercah sinar Sirius telah terpancar kepadanya. Menggelitik hingga berhasil membangunkan sang asa dari persembunyiannya.
Perjalanan mendaki hari inipun cukup menyenangkan. Namun, sebelum rombongan kembali ke bus untuk pulang, aku bersama Zahra ke toilet dulu. Ternyata Zahra muntah kemudian tak sadarkan diri. Dari kakak pembimbing yang sebelumnya bersamanya aku tahu bahwa sejak berangkat kepalanya pusing, tapi anehnya sejak tadi bersama kita dia sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia sakit. Ya Allah ampunilah hamba, kenapa hamba bisa tidak tahu kalau sahabat hamba sakit? Rasa bersalah mulai menyerbuku. Dia memang berusaha selalu tersenyum, tapi sebenarnya dia menahan sakit yang kutak tahu sakit apa yang dia derita sebenarnya.
Hingga kita sampai di kampus aku tak berani menanyakan pada Zahra. Lila yang berani menanyakannya, dengan senyum Zahra menjawab, “Aku nggakpapa, ukhty. Always ON! Semangat!”. Dibalik wajahnya yang pucat ia masih mampu tersenyum memberikan semangat untuk sahabatnya. Disaat sakitpun kau tetap memncarkan sinarmu, Sirius.
***
Hingga saat ini persahatanku bersama empat orang temanku masih baik-baik saja. Sebulan kemudian ada agenda lagi, Muslimah Competition (MUSCOM). Acara yang dibuat untuk menyambut Hari Kartini tahun ini. Aku, Lila, Tia, Diana, Zahra dan tiga teman yang lain membuat kelompok untuk kompetisi kali ini. Acaranya akan dimulai dua minggu lagi, tapi kita membuat jadwal untuk latihan minimal tiga kali di minggu ini dan setiap hari di minggu berikutnya. Latihan di minggu pertama Alhamdulillah lancar, kemudian masuk di minggu kedua. Pukul 16.57, Tia dan Lila belum juga dating. Padahal jadwal mereka hanya sampai dzuhur, kerana mereka satu kelas. Merekapun tak memberi kabar akan dating terlambat. Diana mulai menunjukkan sikap tak senang.
“Tia sama Lila mana, sih? Udah telat setengah jam juga.”
“Sabar. Mungkin mereka lagi otw.”, Zahra mencoba menenangkan.
Lima belas menit kemudian terdengar derap orang yang berlari menuju tempat latihan, Tia dan Lila.
“Maaf teman-teman, telat. Kita tadi pergi tempat tetangga dulu, evaluasi acara kemarin.”, Tia menjelaskan sambil terengah-engah.
“Telat sampai satu jam! Kalian tahu? Acaranya tinggal seminggu lagi. Kemarin latihan kita belum kompak! Hari ini rencana mau rubah konsep biar lebih menarik. Lagian kumpul apa, sih? Cuma evaluasi kan? Kenapa kalian nggak izin aja? Bukan CO kayaknya nggak masalah kok kalau nggak dateng.”, Diana membuang muka, terlihat jelas ia sedang geram. Aku tak berani komentar apa-apa, apalagi ‘bertarung’ dengan Diana. Lebih baik aku mundur. Aku tak mau beradu dengan si jago debat itu.
“Sabar, Na, sabar. Nggakpapa, kan masih ada waktu enam hari lagi.”, Zahra kembali menenangkan Diana.
“Ya kalau mereka mau dating tepat waktu, kalau telat sejam lagi? Mau jadi apa? Mending nggak usah ikut lomba aja!”. Diana mengambil tasnya kemudian pergi.
Zahra mencoba mencegahnya, tapi tak mempan.
“Diana mau kemana? Masih ada waktu lima belas menit buat latihan!”, teriakku mencoba mencegah Diana yang mulai menjauh. Sayang, usaha itu pun tak mempan. Lila terduduk dan menangis. Zahra mendekatinya, menenangkan Lila.
Tia pun duduk lesu di sisi lain.
“Harusnya aku tak egois. Tapi kalian tahu kan? Aku nggak mungkin maksa CO-ku yang sakit untuk dateng. Dia memintaku untuk menggantikannya, terus aku ngajak Lila untuk nemenin. Pas aku mau sms, hpku lowbat. Hpnya Lila juga ketinggalan gara-gara tadi pagi cepet-cepet, nggak sempet ke kost lagi.”, tia menyesali perbuatannya.
“Ya sudah nggakpapa. Mungkin karena Diana ada masalah lain makanya dia mudah emosi.”, Zahra berzuznudzon.
Besoknya, Tia dan Lila minta maaf lagi. Meskipun masih agak kecewa, Diana tetap memaafkan. Malah dia juga meminta maaf. “Aku juga minta maaf ya, kemarin itu aku agak kacau karena tugas di kelas kemarin.”. Aku lega, mereka sudah berdamai.
Hari terakhir latihan. Kali ini Diana yang belum muncul setelah setengah jam kita menunggu. Hpnya dihubungi tapi tidak aktif. Tidak biasanya, kerena dia yang paling disiplin diantara kita. Setengah jam kemudian berlalu, Diana belum juga datang. Ketika dihubungi lagi, kembali hanya suara operator yang nyaring terdengar. Semua mulai resah, kecuali Zahra. “Sabar teman-teman, mungkin Diana masih di jalan. Ayo, semangat! Semangat!”, ujarnya sambil tersenyum. Aku heran, disaat genting seperti ini dia masih bisa menunjukkan sikap dewasanya. Salut.
Lima menit kemudian terlihat Diana dari kejauhan. Tapi kali ini terlihat air mata membasahi wajah ayunya. Kita menghambur kearahnya. Semua menanyakan apa gerangan yang teradi padanya. Dengan tersedu-sedu ia mencoba menjelaskan.
“Tiga bulan aku belum membayar uang kost. Aku diberi waktu tiga hari untuk melunasinya. Aku nggak berani meminta pada ibuku. Tadi pagi kakakku kecelakaan, kondisinya sekarang kritis. Adik keponakanku juga dirawat karena demamtiga hari yang lalu. Aku tak tahu harus bagaimana.”, jelasnya dengan tangis yang semakin menjadi.
“Tenang, Na. semua pasti ada jalan keluarnya.”, aku berusaha menenangkannya.
“Iya, Allah itu tidak mungkin menguji di luar kemampuan hamba-Nya. Aku masih punya sedikit tabungan di koperasi. Kamu bisa memakainya dulu. Mungkin teman-teman yang lain juga mau meringankan sahabat kita?”, tanyanya diikutio memandang kami sati persatu.
“Aku juga punya beberapa ini, bisa untuk menambahi.”, ujarku segera segera mengambil dompet dari tas yang kubawa.
“Aku juga punya, ini.”, ujar Lila juga ikut mengeluarkan dompetnya.
“Aku juga.”, Tia juga menyodorkan dompetnya.
“Ya sudah. Mari kita kumpulkan untuk meringankan beban saudari kita.”
Dengan masih tersedu dan terharu, Diana menyampaikan terimakasihnya.
“Terimakasih ya teman-teman. Kalian adalh sahabat terbaik. Semoga allah membalas kebaikan kalian. Dan semoga persahabatan ini sampai ke Surga-Nya.”
“Aamiin. “, aku, Zahra, tia dan Lila menjawab bebarengan.
“Ya sudah, ayo sekarang kita pulang. Sudah azan.”, Zahra mengingatkan.
Subhanallah. Indahnya persahabatan kurasakan bersama mereka. Dan juga sang Sirius yang selalu menjadi pelopor, memancarkan sinarnya. Dia merelakan uangnya untuk sahabatnya. Padahal aku tahu, dia sendiri harus membeli beberapa buku yang diwajibkan dosennya yang harganya cukup untuk uang saku dua minggu, juga untuk pendaftaran beberapa lomba kerya tulis ilmiah yang dia ikuti. Uang tabungan itu yang kutahu untuk membeli kamera SLR yang telah lama ia inginkan.
***
Hari yang kita tunggu, acara Muslimah Competition (MUSCOM). Kita akan menampilkan drama dengan tema ”Kartini Masa kini”. Dengan berbagai dandanan yang lucu dan menggemaskan kita berangting di atas panggung. Menampilkan berbagai karakter dan profesi para wanita masa kini. Penerus perjuangan kartini di masa lalu.
Saat kita sedang asyik berakting di atas panggung, aku sempat melihat penonton yang ada di depan panggung, termasuk melirik Zahra yang ada disana. Dia memang memilih menjadi sutradara dan kita yang merealisasikan ide-idenya. Aku melihat wajahnya memucat. Tapi dia tetap menyunggingkan senyum manisnya. Tiba-tiba tubuhnya jatuh, pingsan. Aku hampir mau lari turun menghampirinya. Tapi aku sadar aku masih harus menyelesaikan adegan drama dengan teman-teman yang lain. Tanpa kegaduhan, tubuhnya dibawa keluar auditorium pentas. Teman-teman tak ada yang tahu.
Usai pentas, tanpa babibu aku berlari keluar ruangan. Teman-teman yang lain memanggil-mangilku. Aku tak peduli. Tanpa menoleh dan menjawab aku memburu kemana Zahra dibawa pergi. Teman-teman pun berhamburan mengikutiku.
“Zahra, dibawa kemana mbak?”, tanyaku panik pada salah seorang panitia yang ada diluar auditorium.
“Ke rumah sakit dekat balai desa sana, Dek.”, jawabnya sambil menunjuk jalan arah ke rumah sakit.
“Zahra kenapa?”, tanya Diana ikutan panik.
“Tadi dia pingsan. Ayo ambil motor kita ke rumah sakit.”, jawabku sambil menyeret tangan Diana. Kita kesana diikuti teman-teman yang lain.
Sampai rumah sakit kita segera menuju ruang dimana Zahra dirawat setelah menanyakannya di resepsionis.
Dokter pun keluar. Kita segera menanyakan keadaan Zahra. Dengan lesu dan pasrah dokter itu menggelengkan kepalanya. “Maaf, kami tidak bisa berbuat banyak. Berbagai tindakan untuk memperlambat kanker yang menjalar diotaknya tak bisa membuat usianya lebih lama lagi.”
Sontak, kita pun menangis. Seakan disambar petir. Sebuah kabar yang tak pernah terduga sebelumnya. Ternyata selama ini Zahra menderita penyakit yang begitu berat. Tapi dia sengaja tak pernah menceritakan pada sahabat-sahabatnya. Ia tak mau sahabat-sahabatnya ikut merasakan sakit seperti yang ia rasakan. Ia ingin tetap tersenyum dihadapan sahabat-sahabatnya seakan-akan tidak ada beban apa-apa. Ia berusaha tetap tegar diatas kanker otak yang menggerogoti. Memang pernah suatu kali aku mendapati ia mimisan saat aku ke rumahnya. Dia juga pernah menanyakan sampo apa yang paling ampuh untuk mengatasi rambut rontok. Tapi tak pernah terbesit sedikitpun penyakit mematikan itu akan diderita sahabatku. Sungguh ini adalah terberat yang harus aku terima sepanjang persahabatan ini. Aku tak tahu, siapa yang akan menggantikan sosok Sirius dalam persahabatan ini.
***
Pernah suatu kali kita berbincang tentang penamaan diri menjadi salah satu perumpamaan alam.
”Kalau ada perumpamaan alam, aku ingin menjadi pelangi. Kalian ingin menjadi apa?”
“Aku mau jadi awan, dia membumbung tinggi di angkasa. Seperti mimpi-mimpiku. Aku akan mengejarnya hingga puncak tertinggi. Di awan sana.”, kata Lila bersemangat sambil menunjuk gumpalan awan yang membentuk ornamen indah.
Tia ingin menjadi matahari, karena sinarnya yang tak lelah menyinari seluruh makhluk di muka bumi. Diana ingin menjadi burung, yang dengan gagah kesana kemari mengelilingi angkasa. Terus terbang tanpa henti, tanpa lelah menjelajahi alam-Nya. Menjadi petualang sejati adalah impiannya.
Aku pun tak mau kalah menjawab, “Aku mau menjadi Sirius, menjadi bintang yang bersinar paling terang saat malam tiba. Meskipun dia yang akan lebih dulu mengilang, karena energinya yang yang lebih banyak terpancar. Sehingga cahaya itu lebih dulu habis hingga lenyap. Seperti tokoh Keke dalam Surat kecil Untuk Tuhan. Tapi intinya disini aku mau totalitas dalam berguna untuk semua orang. Hehe.”
Zahra hanya tersenyum.
“Kamu sendiri, kenapa ingin menjadi pelangi?”, tanyaku penasaran.
“Iya, pelangi. Karena pelangi memancarkan keindahan dengan berbagai macam warna, mejikuhibiniu bahkan mungkin ada tambahan warna lain. Dia menerima berbagai perbedaan yang ada disekelilingnya dan menjadikannya paduan yang indah. Seperti menerima berbagai karakter kalian dengan berbagai keunikan yang kadang menggelikan.”, Zahra terkekeh.
Aku merasa bahwa dialah yang lebih pantas menjadi bintang Sirius. Dalam diamnya ia mencoba menjadi sosok lain dari dirinya. Dalam sakitnya ia bertahan melawan derita terberatnya. Dialah Sang Sirius yang menamakan dirinya sebagai pelangi. Dialah bintang penerang berbagai warna pelangi. Dialah sang Sirius dalam Pelangi. Semoga cahayamu tergantikan cahaya Surga.
__
Dalam Kumpulan Cerpen "The Miracles Of My Story" oleh LDK IAIN Surakarta, 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H