[caption caption="Abu - dok. pribadi"][/caption]
* Foto diatas adalah foto sewaktu Abu masih sehat, kedua pupilnya sama besar dan dia bisa melihat obyek.
Kisah Abu dimulai awal September lalu saat saya sama suami lagi nongkrong di kafe, jam 8 malam. Lagi asyik-asyiknya nunggu wafel es krim stroberi, Bapak nge-whatssapp. “Nak, Abu diserang musang. Darahnya banyak, parah, sepertinya akan mati.”
Abu ini adalah seekor kucing kecil berwarna abu-abu, keturunan local dan ras tapi gen lokalnya lebih banyak. Diadopsi oleh Bapak tanggal 16 Agustus lalu saat umurnya masih 2 bulanan. Saya sama suami saat itu pulang, ikutan menjemput Abu untuk dibawa ke rumah. Kucingnya lincah banget, suka lompat dan naik-naik. Saya namakan Abu Raung karena pada saat dia diadopsi, gunung Raung sedang batuk sampai-sampai abunya mengakibatkan Bandara Ngurah Rai buka-tutup selama beberapa hari.
Si Abu ini selain lincah, dia juga berani. Bayangkan, kucing umur 2 bulan berani bentak anjing Godlen Retriever gede. Keberanian si Abu ternyata merupakan kelemahannya. Abu terlalu berani sampai-sampai celaka. Saat kejadian, Bapak sedang asyik baca buku. Di halaman, si Abu membentak sesuatu. Menggeram keras. Bapak kira Abu berkelahi sama kucing. Keluarlah Bapak ke halaman. Musuhnya pergi, dan sekelebatan Bapak melihat kalau musuhnya itu seperti kucing dewasa. Si Abu tahu pemiliknya datang, makin berani. Musuhnya dikejar sampai ke halaman tetangga, lalu….sunyi. Bapak kaget, buru-buru keluar pagar. Si Abu sudah lemes dengan leher ada di mulut musuhnya, seekor musang besar.
Dengar cerita begitu, otomatis, air mata saya berlelehan di sela-sela suapan wafel yang lezat. Baru 2 minggu ada di rumah. Baru 10 menit yang lalu Bapak kirim foto Abu sedang melingkat tertidur diatas kursi. Kok tahu-tahu….mati? Sambil makan dan berurai air mata saya sms kawan Bapak untuk minta kontak dokter hewan. Saya di Denpasar, Bapak di Banyuwangi. Jarak jauh sementara tindakan harus cepat. Saya tanya, “Suhu badannya gimana? Nafasnya gimana?” Jawab Bapak “Kakinya mulai dingin. Nafasnya terputus-putus.” Tambah pejer dah saya sampe nggak enak sama suami. Di kafe, cowok-cewe berduaan, ceweknya nangis pejer kan bikin orang ngegosipin si cowok yang dalam hal ini suami saya. Malam itu air mata nggak berhenti mengalir. Saat berhenti mengalirpun saya masih nggak bisa tidur karena hidung bumpet. Dalam hati saya berusaha ikhlas. Ikhlas, Abu. Kami sayang sama Abu. Semoga bahagia di Taman Bermain Para Kucing.
Besoknya, jam 10 pagi Bapak WA lagi. “Nak, Si Abu sudah dibersihkan. Nafasnya sudah teratur, tapi kadang tersentak-sentak. Sama sekali tidak sadar.” Lhaa…? Airmata saya semaleman apa artinya dong? “Ke dokter hewan aja cepetan. Siapa tahu bisa diselamatkan,” kata saya. Tapi kata Bapak nomer dokter hewan yang saya kirimkan kemarin tidak aktif. Wah! Langsung saya gugling dan kirimkan nomer2 dokter hewan lainnya yang tercatat di Banyuwangi. Pikiran saya kemana-mana. Abu parah! Semoga Bapak mau cepat-cepat ke dokter hewan. Bapak saya ini kadang kalo sudah merasa putus asa suka mutung. Hari itu saya berdoa keras dalam hati.
Jam 2 Bapak WA lagi. “Sudah dibawa ke dokter. Tapi dokternya nggak ada. Sempat dimasukkan makanan cair pakai sepet dan Abu bisa menelan. Kata asisten dokternya kalau Abu bisa menelan berarti bisa selamat.” Syukurlah! Sore itu saya girang. Apalagi waktu jam 5 Bapak kasih kabar kalau Abu bisa rawat jalan. Lukanya berupa 2 lubang bekas gigitan di kepala. Lehernya selamat karena pada saat kejadian Abu memakai kalung leher bekas gelang saya. Gelang sport terbuat dari karet, ada tulisannya Adidas yang saya tahu pasti palsu. Gelang ini karetnya tebal, dan karena itu leher Abu selamat.
Selanjutnya: Kucing Buta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H