[caption caption="Crying Angel (sumber Pinterest)"][/caption]
Do not stand at my grave and weep. I am not there, I do not sleep. I am a thousand winds that blow. I am the diamond glints on snow. I am the sunlight on the ripened grain. I am the gentle autumn rain. When you awaken in the morning hush, I am the swift, uplifting rush of quiet birds in circled flight. I am the soft stars that shine at night. Do not stand at my grave and cry; I am not there, I did not die. -Mary Frye
Akhirnya, mobil yang kami tumpangi berhenri di pinggir jalan, hanya beberapa meter dari rumah nenek. Sebentar, saya lega bisa menghirup udara segar dari ‘beratnya’ atmosfir di dalam mobil. Tapi belum lama saya merasa lega, mata saya melihat bahu bapak terguncang hebat. Sedu sedannya yang sejak tadi ditahan, akhirnya keluar juga. Begitupula bibi saya. Bibi yang tadi di mobil sempat bercanda-canda, mendadak seakan lumpuh, tidak bisa keluar mobil. Sepupu saya, Nita, merangkul ibunya dan mereka menangis berpelukan. Ibu mertua memeluk saya erat. Tapi saya tidak merasakan apa-apa. Air mata saya habis sepanjang perjalanan Banyuwangi-Banjar.
Saya ikhlas kehilangan ibu dalam usia dua puluh tujuh. Ketika itu saya baru setengah tahun menjalani hidup sebagai pengantin baru. Ibu dan Bapak pada saat itu juga, karena tugas, tinggal jauh. Mereka di Bandung, saya dan suami di Banyuwangi. Kematian Ibu tidak akan berpengaruh banyak pada kehidupan saya sehari-hari, begitulah pikir saya pada saat itu. Keluarga besar juga berusaha membuat saya, adik, dan bapak terhibur. Saya sempat ke Bekasi, ke rumah bibi. Di Bekasi saya juga sempat jalan-jalan sendiri, menghibur diri.
Yang saya tidak sangka, ingatan saya seakan flash back setibanya kembali di Banyuwangi. Saya menangis sepanjang jalan dari stasiun kereta ke rumah. Setiap jalan ini pernah dilalui oleh ibu saya, dalam gelak tawanya. Warung itu, tempat Ibu biasanya menyuruh saya menunggu beliau pulang sambil jajan (jajan apalah semau kamu, nanti Ibu yang bayar). Sekolah itu, dulu Ibu sering ikut senam pagi hari Minggu. Toko itu, tempat Ibu biasa beli bahan-bahan kue. Ingatan itu menyengat, membuat tenggorokan saya sakit, hidung saya berair, dan air mata bercucuran.
Dua tahun kemudian, Bapak pulang ke Banyuwangi. Masa tugasnya sudah selesai, dan Beliau melanjutkan masa pensiun di rumah. Saya, pada saat itu sudah merantau ke Denpasar. Sesekali saya pulang, menengok Bapak dan memasak masakan apa saja sebisa saya. Ketiadaan nyonya rumah memberi rasa kosong yang luar biasa. Dan saya jadi yang paling cantik di rumah, haha. Ketika Bapak memutuskan mengadopsi kucing, saya lega luar biasa. Bapak punya teman yang menunggu beliau pulang. Baru dengar suara pintu dibuka saja, si Abu akan ribut dan lari menyambut Bapak.
Kadang saya bertanya, bagaimanakan keadaan saya seandainya Ibu masih ada. Sewaktu saya masih remaja, Ibu adalah orang yang saya hindari. Cerewet, detil, dan ribet banget saya jadi nggak bisa mengerjakan pekerjaan rumah asal-asalan. Ibu suka kasih saya kerjaan, belikan ini ke warung, nyapu, lap-lap meja-kursi, yang tidak pernah beliau lakukan ke adik lelaki saya. Saking sebelnya, masa remaja saya penuh dengan baju training bekas kepunyaan Bapak (lengkap dengan emblem kantor pemerintahan tempat beliau kerja), kaus-kaus bolong yang nyaman, sendal jepit buluk, dan saya nggak pernah mandi kalau hari libur. Lain banget dengan Ibu yang selalu tampil apik, anggun, dan rapih berdandan.
Sekarang, ketika menjadi seorang wanita karir, saya suka bertanya-tanya, bagaimana rasanya belanja pakaian kalau bersama Ibu. Sewaktu remaja saya meronta kalau dibelikan baju baru, kasihkan barang pembelian Ibu ke teman-teman yang suka. Sekarang ketika sedang melihat sebuah sepatu yang saya suka di etalase toko, kira-kira pendapat Ibu bagaimana ya? Ketika saya ada persoalan di kantor, bagaimanakah nasehat Ibu? Kebetulan atau tidak, pekerjaan saya sama dengan pekerjaan Ibu dulu sewaktu masih gadis. Kalau misalnya ada Ibu, apakah saya akan punya anak duluan? Terus terang iri banget sama ibu muda yang jalan-jalan dengan keluarganya, si bayi dipangku neneknya.
Hari Ibu, yang diperingati tanggal 22 Desember adalah tonggak supaya kita ingat. Ini bukan tentang kartu ucapan, ucapan selamat, bunga krisan, atau termakan trik dagang dan konsumerisme. Tapi sebagai peringatan supaya kita ingat untuk menyampaikan kepada Ibu rasa sayang, terimakasih, dan penghormatan. Saya ingat jelly coklat rasa gula merah dalam loyang berbentuk hati yang saya berikan kepada Ibu begitu saya tahu ada yang namanya hari Ibu.
Saya yang masih SMP tidak berpikir bagaimana rasanya, bagaimana bentuknya, yang penting saya menyampaikan kepada Ibu. Tahun berikutnya saya petikkan mawar buat Ibu. Bunga mawar yang tumbuh di halaman rumah kawan, banyak durinya dan gampang layu. Saat itu saya tidak berpikir apakah jelly saya enak (jelly coklat tapi rasa gula merah dikasih putih telur kocok, kebanyakan air pula), atau apakah bunga saya indah (mawar kampung biasa). Tapi saya tahu, Ibu terharuuu banget. Pada hari itu Ibu nggak cerewet soalnya, hahahaha.
Menyesal memang terasa di belakang. Saya menyesal, Ibu tidak sempat melihat saya jadi perempuan. Ketika saya kecil, saya tomboy. Selalu Bapak yang saya jadikan panutan. Tetapi setelah dewasa, ternyata Saya berjalan di bawah bayangan Ibu.