Program magang atau Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang diterapkan pada pendidikan menengah (terutama di SMK) dan pendidikan tinggi, seharusnya menjadi jembatan yang menghubungkan dunia pendidikan dengan dunia usaha dan industri (DUDI). Idealnya, program ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan siswa dan mahasiswa dalam rangka mempersiapkan mereka menghadapi dunia kerja yang semakin kompetitif. Namun, dalam praktiknya, banyak program magang yang rentan terhadap eksploitasi, baik dari sisi tenaga kerja maupun hak-hak peserta didik. Eksploitasi ini muncul karena sistem kapitalisme yang mendominasi dunia pendidikan dan dunia usaha. Oleh karena itu, tujuan utama program magang sering kali berbelok menjadi kepentingan maksimal perusahaan, bukan untuk pengembangan kapasitas peserta didik.
Penyalahgunaan program magang menjadi masalah yang semakin mencuat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Program magang atau PKL yang semula dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan siswa dan mahasiswa sering kali digunakan oleh perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja murah tanpa biaya. Beberapa laporan menunjukkan bahwa ribuan mahasiswa dan siswa SMK menjadi korban eksploitasi kerja berkedok magang, dengan jam kerja yang panjang, tanpa bayaran, serta tanpa perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja yang memadai. Bahkan, ada kasus di mana siswa SMK yang dikirim untuk magang ke luar negeri terjebak dalam praktik perdagangan manusia (trafficking) yang memanfaatkan celah legalitas dalam pengaturan magang.
Di dunia kapitalisme, perusahaan sering kali lebih mementingkan keuntungan finansial daripada kesejahteraan dan pengembangan keterampilan peserta magang. Dalam banyak kasus, perusahaan tidak memberikan pelatihan yang substansial, melainkan lebih banyak memanfaatkan peserta magang untuk pekerjaan yang tidak relevan dengan bidang studi mereka. Dengan demikian, tujuan program magang yang seharusnya menjadi sarana pembelajaran justru berakhir menjadi eksploitasi tenaga kerja gratis bagi perusahaan.
Sistem pendidikan vokasi yang seharusnya menjalin kerjasama yang saling menguntungkan antara sekolah dan perusahaan ternyata sering kali terjebak dalam kepentingan ekonomi jangka pendek. Sekolah atau perguruan tinggi yang menjalin kemitraan dengan dunia usaha sering kali hanya berfokus pada keuntungan finansial yang bisa didapatkan dari kerjasama tersebut, tanpa memperhatikan hak-hak peserta didik. Hal ini menciptakan hubungan yang timpang, di mana perusahaan diuntungkan dengan tenaga kerja gratis, sementara siswa dan mahasiswa justru dirugikan.
Tidak hanya itu, dalam sistem kapitalisme, pendidikan sering kali dipandang sebagai komoditas yang dapat dijual. Artinya, sekolah dan universitas berusaha untuk menjual lulusan mereka kepada industri, yang sering kali mengabaikan kesejahteraan tenaga kerja muda. Dampak dari hal ini adalah terjadinya devaluasi pendidikan itu sendiri, di mana lulusan pendidikan vokasi sering kali bekerja di posisi yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikan mereka, bahkan dengan kondisi yang merugikan, seperti jam kerja yang berlebihan atau upah yang sangat rendah.
Dalam pandangan Islam, negara memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pendidikan yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga berkepribadian mulia dan dapat menjamin kesejahteraan peserta didik. Pendidikan dalam Islam tidak dipandang semata-mata sebagai investasi ekonomi, melainkan sebagai investasi untuk membangun peradaban yang lebih baik dan mempersiapkan generasi penerus yang unggul dalam segala aspek kehidupan.
Negara dalam sistem ekonomi Islam memiliki kewajiban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, sehingga peserta didik tidak harus bergantung pada dunia usaha untuk mendapatkan pengalaman atau keterampilan. Pendidikan harus diselenggarakan secara holistik, dengan menekankan aspek pembentukan karakter, pengembangan keterampilan, serta pemahaman terhadap nilai-nilai agama yang dapat membentuk pribadi yang tidak hanya terampil tetapi juga bermoral.
Jika pendidikan dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, maka program magang atau PKL yang dilaksanakan di dunia industri tidak akan menjadi ajang eksploitasi. Negara akan memastikan bahwa setiap program magang dilaksanakan dengan perlindungan yang memadai terhadap peserta didik, memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi mereka, serta menjamin keselamatan dan kesehatan mereka selama bekerja di perusahaan. Di sisi lain, dunia usaha juga akan diatur untuk tidak mengeksploitasi tenaga muda, tetapi justru bekerja sama dengan lembaga pendidikan dalam membangun sistem yang saling menguntungkan tanpa merugikan pihak manapun.
Eksploitasi terhadap tenaga terdidik melalui program magang atau PKL adalah fenomena yang harus diatasi dengan serius, terutama dalam konteks sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh kapitalisme. Negara harus mengambil peran aktif untuk menanggulangi penyalahgunaan ini dengan mengatur dan mengawasi program-program magang agar tidak merugikan peserta didik. Dalam sistem ekonomi Islam, pendidikan dijalankan dengan tujuan mulia untuk membentuk generasi yang berkualitas dan berkepribadian tinggi, dan program magang seharusnya menjadi bagian dari proses pembelajaran yang saling menguntungkan, tanpa ada pihak yang dirugikan.
Wallahua'lam bish showab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H