Per 1 April 2022, bahan bakar bensin jenis pertamax RON 92 resmi ganti harga dari 9.000 rupiah menjadi 12.500 rupiah. Pergantian harga ini disinyalir untuk menyesuaikan harga minyak lokal dengan harga minyak internasional yang terdampak salah satunya oleh perang Rusia - Ukraina.
Hanya saja kebijakan baru ini menuai pro dan kontra. Masyarakat menilai bahwa kebijakan ini akan semakin mencekik rakyat. Pasalnya, BBM jenis pertalite yang harganya masih bertahan di kisaran 7.000 an, stoknya di SPBU mulai menipis.Â
Ditambah lagi, wacana subsidi BBM akan dialihkan dalam bentuk lain agar 'tepat sasaran'. Artinya, subsidi BBM akan segera dicabut agar tidak membebabi APBN.
Selain itu, sebagian masyarakat juga membandingkan harga BBM jenis pertamax RON 92 dengan BBM RON 95 di negara Malaysia yang masih setia bertengger di kisaran 2,05 ringgit atau sekitar 6.999 rupiah. Padahal, produksi minyak mentah Indonesia jauh lebih besar daripada Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Dirut Pertamina pun mengkritik masyarakat yang memberikan 'respon berlebih' terhadap kenaikan harga Pertamax ini. Dirut Pertamina juga menyampaikan mengapa masyarakat tidak ada yang protes ketika misalnya Shell menaikkan BBM di kisaran 16.500 rupiah.
Mencermati pemberitaan ini, tentu kita butuh berfikir apakah negara ini sudah tepat dalam menjalankan kemudinya. Keberadaan sebuah perusahaan tentu berbeda dengan sebuah negara.Â
Perusahaan ada untuk mencari keuntungan dan menghindari kerugian. Jadi, motif dan alasan bergeraknya sebuah perusahaan adalah aspek untung-rugi.
Sementara negara, berdiri dan tegak, harusnya untuk mengayomi, melayani dan menjamin kesejahteraan rakyat yang bernaung dan berlindung di dalamnya.Â
Kalaupun, dalam menjalankan BUMN memperhitungkan aspek untung-rugi, harusnya laba yang diperoleh pun tetap dikembalikan kepada rakyat untuk memberikan pelayanan terbaik untuk rakyat. Bukan hanya dibagi-bagikan kepada segelintir kapitalis yang berlindung di balik jubah penguasa.
Sebagaimana amanat UUD 1945, sumber daya alam yang terdapat di indonesia adalah milik rakyat. Dikelola oleh negara dan dikembalikan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, tidak tepat jika dikatakan subsidi BBM membebani APBN. Pasalnya, sejak awal, sumber daya alam tersebut adalah milik rakyat.
Selain itu, lebih tidak tepat lagi, menaikkan harga jual sumber daya alam milik rakyat di tengah-tengah kehidupan yang serba sulit saat ini, sementara keuntungannya hanya dinikmati oleh segelintir 'penguasaha'.Â