Heboh launching film Negeri 5 Menara, tidak membuat saya penasaran untuk menonton filmnya. Saya sudah membaca novelnya hampir dua tahun yang lalu. Dan berhubung saya termasuk pembaca lambat (diterjemahkan dari slow reader), maka untuk bisa mendapat gambaran yang utuh terhadap sebuah bacaan, saya harus membaca novel Negeri 5 Menara sampai berulang kali. Mungkin juga karena saya semakin bertambah umur semakin lemot ya, hehehe. Saya sudah sampe ngelontok baca novelnya. Rasanya seperti yang lalu-lalu, saya sudah bisa menduga bahwa sebuah film yang diadaptasi dari novel yang sudah lebih dulu melejit popularitasnya akan meninggalkan kesan yang datar-datar saja. Bahkan banyak juga yang bilang bahwa film itu jauh dari ekspektasi para penikmat film. Mengecewakan mungkin, sederhananya. Saya melihat ada beberapa faktor yang membuat film-film yang diadaptasi dari novel itu berakhir tidak sama seperti popularitas novelnya. Pertama sekali, buat pembaca yang seperti saya, membaca novelnya secara berulang-ulang telah mematri scene demi scene dalam alur kisah tentang si tokoh dan setiap detil dramatisasinya. Dalam novel Negeri 5 Menara, saya begitu larut saat membaca Alif (Tokoh Utama) "ngambek" kepada orangtuanya terutama kepada Ibunya saat mereka mengharuskan Alif masuk Madrasah (Pondok Pesantren) alih-alih masuk ke SMA Negeri. Alif sampai harus mengurung diri dalam kamar karena kecewa keinginannya untuk masuk SMA favorit sebagaimana Randai sahabatnya tidak mendapat persetujuan dari orang tuanya. Saya yang pernah mengalami hal sama, seperti turut merasakan duka derita Alif saat membaca bagian itu. Saya hanyut dalam emosi Alif. Bisakah emosi serupa dihadirkan dalam filmnya? Saya meragukannya. Sebab pengalaman menonton film adaptasi lain membuktikan hal yang selalu sama. Emosi dan keterhanyutan suasana yang didapat dari membaca novelnya gagal diusung ke filmnya. Maaf, maaf saja, kalau pernyataan saya mungkin bagi sebagian orang terkesan terlalu memandang remeh kekuatan sebuah film adaptasi dalam menghadirkan emosi penontonnya. Namun harus diingat bahwa visualisasi kata-kata seperti yang dilakukan oleh film adalah dalam rangka menerjemahkan kata-kata ke dalam ruang gerak dan bahasa tubuh yang lebih nyata, untuk lebih mematrikan sebuah fragmen lengkap dengan dramatisasinya. Dan itu seharusnya bisa disajikan lebih memikat dari sekedar barisan aksara. Lalu apa yang salah dengan film itu? Biarlah para sineas dan pengamat film yang membahasnya. Apa yang saya kemukakan di sini, adalah sebatas kesan yang saya tangkap saja sebagai penikmat novel dan film. Faktor lain yang membuat film adaptasi kurang menggigit adalah adanya kesenjangan penceritaan antara novel dengan filmnya. Kesenjangan itu disebabkan oleh terbatasnya durasi film sementara begitu banyak scene-scene penting dalam novelnya yang saling berkesinambungan dan keberadaanya menentukan di scene berikutnya. Butuh kecerdasan sinematik yang luar biasa untuk memotong menyambung scene-scene tersebut tanpa merusak alur keseluruhan, dan tidak mengurangi efek dramatisasinya. Saya ambil contoh, film Laskar Pelangi, dalam novelnya ada scene dimana bakat Mahar ditemukan secara tidak sengaja di kelas saat pelajaran Kesenian. Dalam kelas yang sudah kebelet ingin pulang semua, karena menyanyi ternyata sulit dilakukan oleh hampir semua murid Laskar Pelangi, takdir telah menyapa Mahar untuk mempertontonkan kepiawaiannya menyanyi. Dengan menyelempangkan karung kecampang dan memeluk ukulelenya dengan sepenuh hati. Mahar pun menyenandungkan sebuah lagu barat nostalgia yang dia hafalkan dari radio bututnya. Semua terkesima takjub, tidak menyangka suara merdu akan keluar dari mulut Mahar. Scene yang menurut saya sangat penting itu dalam filmnya dihilangkan dan hanya diganti dengan adegan mahar menyanyikan lagu Bunga Seroja di sebuah padang rumput. Mungkin sang penulis naskah dan sutradara memiliki pandangan yang lebih analitis dan lebih bisa dipertanggungjwabkan secara ilmu perfilman. Tapi tetap saja, bagi saya ada yang hilang dari film itu, ialah emosi yang mengharubiru itu. Beberapa adegan dalam Film Laskar Pelangi malah tidak saya temukan dalam novelnya. Sepertinya itu yang dijanjikan oleh Andrea Hirata bahwa film tersebut akan menampilkan hal-hal yang tidak terungkap dalam novel. Namun penambahan itu justru menjebak filmnya dalam kemonotonan. Sebab penambahan yang disematkan bukanlah sebuah mata rantai dari missing link. Melainkan hanya adegan yang dengan disebut sepintaspun dalam novelnya, sudah membuat pembaca ''ngeh'' tentang apa yang terjadi. Hadeeeh, malah membahas Laskar Pelangi. Baiklah. Itu sekedar contoh saja. Masih banyak contoh lain yang serupa dalam film-film adaptasi lainnya. Film Ayat Ayat Cinta misalnya. Tapi tidak perlulah saya kupas lagi gagalnya film-film tersebut dalam menghadirkan emosi penontonnya sedahsyat saat membaca novelnya. Karena beberapa hal tadi itulah, makanya saya sudah tidak seantusias dulu lagi saat saya menanti kehadiran film-film hasil adaptasi novel terdahulu. Sudah terlalu sering dikecewakan, ceritanya... hehehe. Tapi bukannya saya tidak menghargai film-film hasil karya sineas-sineas Indonesia loh. Bukaaannn... Ini lebih pada ungkapan hati saya sebagai penikmat film. Meskipun sampai sekarang saya belum nonton film Negeri 5 Menara yang sedang tayang di seluruh Indonesia, kecuali di NTT dan sekitarnya, tempat tinggal saya. "Heeeeee. Pantesan aja, tidak antusias nunggu film Negeri 5 Menara. Ditunggu sampai pisang berbuah duren pun, engga bakal filmnya masuk di NTT, wong bioskopnya aja engga ada. Hahahahah". Mudah-mudahan yang mau nonton film ini tidak terpengaruh opini saya yang sedikit asal ini ya. Buat saya lebih penasaran nunggu novel ketiganya A. Fuadi. Salam dari Sumba...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H