Mohon tunggu...
Lilik Prasaja
Lilik Prasaja Mohon Tunggu... -

Akademisi, Aktivis, Wirausahawan.\r\nLife's too complex to be explained.\r\n@lilikprasaja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebijakan Nanggung Subsidi BBM untuk Sepeda Motor

19 April 2013   18:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:56 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepeda motor menjadi sarana transportasi yang sangat populer di berbagai belahan dunia. Moda transportasi ini dikenal karena fleksibilitas dan kelincahan menembus berbagai rintangan. Di Indonesia dan negara berkembang lain, sepeda motor menjadi primadona karena irit dan sangat menunjang mobilitas di tengah infrastruktur dan sistem transporasi umum yang buruk. Sepeda motor menjadi tulang punggung mobilitas rakyat. Hal ini disahkan dengan adanya kebijakan subsidi BBM jenis Premium yang diperuntukkan untuk golongan tidak mampu.

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Petugas SPBU melayani pembeli Premium"][/caption]

Subsidi BBM Premium untuk sepeda motor menjadi pembahasan tersendiri dan sepertinya tidak bisa diganggu gugat karena menyangkut asas keadilan. Menurut ekonom Toni A. Prasetyono, sudah selayaknya pengguna sepeda motor berhak mendapat subsidi. Karena mereka, bersama usaha angkutan umum adalah pihak yang paling rentan terhadap kenaikan harga BBM. Sementara itu, naiknya harga BBM tak bisa dihindari karena beban fiskal APBN akibat subsidi besarnya ratusan triliun rupiah per tahun.

Sebagai akademisi sosial-politik, saya sependapat bahwa kepentingan bangsa tak boleh dikorbankan demi kepentingan golongan. Elit politik selama ini menggunakan isu subsidi BBM sebagai ‘senjata’ (instrumen politik) yang sangat ampuh. Layakkah Indonesia yang tidak lagi menikmati kelimpahan minyak memberikan subsidi bagi ratusan juta rakyatnya, hingga abai membangun infrastruktur? Pak Toni memberikan contoh India yang menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi tapi tiba-tiba anjlok karena investor ragu melihat infrastruktur India yang tak berkembang. Jelas subsidi BBM harus dikurangi dan difokuskan kepada golongan yang membutuhkan. Sementara itu dana hasil pengurangan subsidi diwujudkan ke dalam pembangunan infrastruktur untuk menunjang pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Saya tidak ingin membahas dimensi ekonomi-politik lebih jauh, melainkan fokus pada pemberian subsidi BBM bagi pengguna sepeda motor. Sebagai pengendara sepeda motor yang menempuh puluhan kilometer setiap hari, saya sangat merasakan manfaat subsidi BBM. Paling tidak uang saku yang mepet cukup untuk beli Premium Rp 10.000,00/hari. Namun yang menjadi perhatian saya adalah ‘kemewahan’ subsidi ini akan menarik lebih banyak orang untuk naik sepeda motor. Jadilah mobil dikandangkan dan orang tua lebih suka membelikan anak-anaknya sepeda motor untuk pergi ke sekolah. Saya bukan ingin menyorot pembengkakan anggaran lagi melainkan hal yang lebih praktikal: makin banyak motor di jalan, makin bahaya!

Pengendara sepeda motor tidak setertib pengemudi mobil pribadi itu bisa dilihat kasat mata di jalan raya, tentu dengan generalisasi. Kelincahan dan postur sepeda motor yang kecil membuat pengendara sering tidak waspada terhadap kondisi jalan. Satu-dua pengendara abai mungkin belum terlalu bahaya. Namun jika ada ratusan pengendara ngawur dalam satu kilometer ruas jalan saja bisa dibayangkan betapa tabrakan mudah terjadi. Mudahnya orang belajar mengendarai sepeda motor membuyarkan fakta bahwa ia adalah jenis kendaraan paling banyak terlibat kecelakaan maut di jalan raya. Paling banyak terlibat karena jumlahnya banyak dan titik seimbang kecil, maut karena pengendaranya rentan, tak terlindungi rangka-bodi.

Bayangkan seseorang yang bisa bersepeda kayuh akan langsung “mahir” mengendarai sepeda motor. Ilusi kemudahan yang ditawarkan sepeda motor jenis matik semakin mengkaburkan sisi bahaya sepeda motor. Mudahnya kredit sepeda motor ditambah murahnya Premium untuk pengendara motor akan membuat lebih banyak orang mengendarai sepeda motor. Hal ini tidak ideal karena sepeda motor bukan kendaraan ideal. Ibaratnya cuma untuk “sambung laku”, bukan sebagai moda transportasi utama.

Pemotongan subsidi hendaknya diwujudkan ke dalam pembangunan infrastruktur terutama transportasi umum yang murah, handal dan tepat waktu. Namun, jika sepeda motor masih disubsidi besar-besaran, langkah ini akan kontraproduktif. Kemungkinan subsidi bocor juga masih terbuka karena dualisme harga. Kita tunggu, apakah langkah dualisme harga Premium Rp 4.500,00/liter untuk sepeda motor dan angkutan umum serta Rp 6.500,00/liter bisa menjadi solusi yang memuaskan. Ataukah kemudian perlu di evaluasi, baik untuk alasan objektif maupun subjektif (kepentingan politik praktis-kekuasaan).

Saya menggunakan istilah tabrakan (collision) karena mengesankan ada kesalahan subjek, bukan kecelakaan (accident) yang menihilkan kesalahan subjek.

Mahir dalam tanda petik, sebatas bisa menjalankan sepeda motor dengan rileks

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun