Bagi sebagian besar orang, politik identik dengan permainan kekuasaan yang dekat dengan perilaku tidak terpuji. Pengetahuan ini yang selama beberapa tahun sejak reformasi terkonstruksi oleh media, menimbulkan pesimisme sekaligus apatisme terhadap politik. Rakyat tahu, rakyat melek, rakyat semakin dewasa dalam berfikir. Tapi yang namanya politik masih jauh dari angan. Aktivisme politik hanya sebatas ritual pesta demokrasi yang rawan manipulasi. Rakyat masih enggan dan jauh dari partisipasi politik yang dicita-citakan dalam demokrasi.
Mungkin benar juga perkataan Eric Hiariej, seorang pengajar HI UGM, dalam sebuah kuliahnya bahwa partisipasi politik seseorang bergantung pada kelas sosial yang bersangkutan. Seorang yang tergolong kelas menengah-atas akan lebih mudah berpartisipasi politik karena mereka mempunyai waktu untuk (minimal) memikirkan politik. Bandingkan dengan masyarakat kelas bawah yang harus berjuang sepanjang hari untuk mencari nafkah. Konstruksi kesadaran dan pengetahuan politiknya tidak akan sekuat kelas menengah-atas karena memang mereka tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Idealkah demokrasi yang demikian? Hal ini akan membawa kita pada perdebatan apakah kesejahteraan ekonomi mendorong demokrasi yang ideal ataukah sebaliknya.
Marilah kita mengesampingkan dahulu wujud demokrasi ideal karena itu merupakan pencapaian dari sebuah proses panjang demokratisasi yang di negeri ini terkesan stagnan. Mari persempit fokus kita pada partisipasi politik sebagai sarana terwujudnya tatakelola publik yang baik. Parameter baik di sini adalah terserapnya aspirasi publik dan perwujudannya ke dalam kebijakan yang berpihak kepada rakyat sehingga tercapai tujuan publik.
Pertama kita berangkat dari fakta mengenai tatakelola publik yang ada. Di mana kita sangat akrab dengan pendekatan top-down, dari pemerintah-rakyat, dari ndara-kawula. Pendekatan ini mengisolasi pembuatan kebijakan publik pada level elit-pemerintah. Padahal kebijakan publik menyangkut urusan dan kepentingan publik (rakyat). Fenomena top-down ini akan cenderung menjauhkan kebijakan (dan proses politik yang meliputi) dari realitas publik yang ada. Di satu sisi, rakyat sebagai pembentuk publik tidak memiliki cukup sumber daya politik untuk mengawal agenda publik menjadi kebijakan publik hingga tahap implementasinya. Rakyat di samping lemah juga relatif tidak mau ambil pusing dengan urusan “penggedhe”, urusan pemerintah. Rakyat lebih akrab dengan apa yang dihadapinya setiap hari, politik sudah ada yang mengurus.
Bahkan dalam pemilu sekalipun sebenarnya rakyat tidak benar-benar berpartisipasi secara baik dalam politik. Rakyat memilih karena faktor-faktor yang irasional, seperti hubungan keluarga, wajah ganteng, rumahnya dekat dan sebagainya. Padahal untuk mewujudkan kehidupan demokrasi yang baik, partisipasi politik harus didasarkan pada rasionalitas. Hasil dari proses politik yang seperti ini adalah pemimpin dan anggota parlemen yang kurang kompeten dan cakap, meski tidak semua.
Terjun ke politik pun hanya masuk akal bagi mereka yang mampu secara ekonomi. Dalam kondisi politik yang transaksional seperti sekarang, politik praktis menjadi arena bagi mereka yang punya modal. Bukan rahasia lagi jika yang maju menjadi calon di pemilu adalah mereka yang mampu dan mau menyetor dana besar kepada partai politik yang mengusungnya. Sehingga kemudian terjadi seleksi alam bagi orang-orang yang ingin melibatkan diri dalam politik.
Sehingga tidak mengherankan ketika politik kini hanya didominasi oleh elit yang mempunyai sumber daya besar. sementara rakyat sebagai pemilik demokrasi hanya menjadi penonton di luar arena. tidak heran jika agenda-agenda kerakyatan menjadi tersisih karenanya.
salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H