Antitesa Indonesia
Indonesia adalah sebuah antitesa.
Seperti puluhan negara Dunia Ketiga yang lain, yang bangkit dari penjajahan Barat tahun ’40 hingga ‘70an, Indonesia adalah sebuah antitesa. Batas-batas yang tercipta, geografis, kultural, politis, sampai tingkat tertentu dibentuk oleh praksis kolonialisme sebagai tesa.
Kontruksi antitesa memiliki konsekuensi logis, ia lebih banyak tergantung pada pertama, pembayangan akan tesa -lawan biner dari dirinya-, kedua, pada bagaimana imajinasi bersama dipertahankan mengingat modal jejaring serat-serat kultural tak begitu mencukupi –kalau perlu dengan indoktrinasi dan kekerasan; dan ketiga tentu saja, bergantung pada mesin kolektif sebuah bangsa, ini berarti pemerintah, sebagai konsolidasi bukan hanya tugas-tugas fungsional, tetapi sebagai penggumpalan terbesar sekaligus mandataris fungsional dari mimpi bersama sebagai antitesa.
Dan lantaran karakter pola-pola dialektis dibentuk tidak hanya dari derivasi tesa, tetapi juga konstitusi lingkungan pergaulan hidup jaman dari kebudayaan manusia sebagai medium konstruksi identitas diri bagi antitesa, tak pelak lagi, identitas antitesa adalah produk, bukan hanya politis, namun juga sosiologis dari jamannya. Dan tentu juga, dinamika eksistensial dirinya tunduk pada hukum-hukum kolektif, pada ritme dan warna tiap jaman, pada kata dan kosakata sejarah, pada buih dan didihan, pada damai dan kebisuan waktu. Ketika genetik kepribadian antitesa berjajar dengan zeitgeist, roh jamannya, ia menjadi kuasa paling artikulatif, bukan hanya bagi dirinya sendiri, namun bagi keseluruhan jaman itu, bagi semua orang –terlebih mereka yang tertindas- di jaman itu. Gandhi, Sukarno, Castro dan Guevara, Bob Marley, hingga Osama dan Hizbullah di Libanon.
Pula sebaliknya, ketika keduanya berlawanan atau tak saling sepadan, sang antitesa gagap mencari kata-kata mengaktualisasikan dirinya, tidak hanya ‘tidak ada’ di dunia dan remang pada diri sendiri, tapi juga pada anak-anak dari jamannya, orang-orang muda.
Indonesia adalah antitesa
Reksa Roemeksa, rapat-rapat umum Sarekat Islam di Jaman Bergerak, gerakan buruh kereta api, bangkitnya Semaun muda melawan Cokroaminoto, gerakan perempuan, perkumpulan-perkumpulan energik pelajar, kumpulan para bupati dan gerakan tradisi, pidato-pidato Sukarno, teks-teks para bapak bangsa, kelompok studi Yamin dan Hatta, persatuan perjuangan Tan Malaka, hingga gerakan pemberantasan buta huruf, -pbh- tahun ’60-an, adalah historis antitesa yang mendidih. Indonesia lama adalah antitesa yang mendidih.
Kemunculan antitesa, mulai dari retakan-retakan dan hal-hal kecil dan sepele yang semula sekedar dirasa kecelakaan budaya, kelemahan kelembagaan, dan seterusnya, terus bergulir cepat menjadi butir-butir sejarah yang terus meliat menggumpal.
Prosesnya dimulai dari adaptasi, maladaptasi, dan antiadaptasi. Diawali dari adaptasi artistik ala pelukis Raden Saleh atau Kassian Kefas, fotografer pribumi yang pertama. Tantangan para petualang kultural generasi ini justru muncul ketika mereka mencoba masuk kembali ke akar budayanya, persis seperti penolakan atas Columbus dan Marcopolo. Diikuti kemudian dengan munculnya generasi yang secara intelektual tercerahkan dalam pendidikan humanis liberal. Ini segera disusul ketegangan antropologis sang manusia pribumi sebagai subyek yang bernalar Pencerahan namun berkulit sawo matang. Yang menemukan eksistensi diri politisnya ketika mencoba masuk ke ekosistem institusional kolonial, sebuah penolakan bermotif politis terhadap pribumi untuk masuk ke dalam struktur birokrasi kolonial yang sepadan dengan kapasitas intelektual dan pendidikan formalnya. Inilah generasi Abdul Rivai dan Sosrokartono.
Bersama Politik Etis, lapis baru masyarakat intelektual muncul di bumi Indonesia. Bersama dengan tumbuhnya nalar humanisme Eropa di kalangan elit terdidik ini, disertai benturan-benturan politik dan kultural yang terjadi, perlahan mulai melahirkan kesadaran baru, yang sedikit demi sedikit menggumpal mengeras dalam ide “Indonesia”.
Di wilayah ekonomi ketegangan antara pengusaha pribumi dan Cina akhirnya bergeser menjadi gerakan massa Sarikat Islam. Sekalipun demikian kohesi massa rakyat dan massa intelektual belum terwujud. Konsolidasi masyarakat intelektual serta gagasan keindonesiaan dan penemuan sejarah dirinya tercapai lewat Perhimpunan Indonesia. Sementara integrasi massa rakyat dan massa intelektual baru tercapai di era PNI, diikuti pula dengan gerakan massal “Indonesianisasi” yang hanya tercapai bila rakyat cukup terdidik untuk membaca jaman. Inilah peran gerakan-gerakan pendidikan dan pemberantasan buta huruf, di samping mulai terciptanya tradisi pengorganisasian sosial di tengah massa pemuda.
Indonesia sungguh-sungguh sebagai suatu proyek politik massif baru tercapai di tahun-tahun ’30-an, dalam koalisi luas antar berbagai elemen pergerakan nasional, segera setelah identitas lokal ditemukan ulang dalam hiruk-pikuk organisasi pemuda, dan diredefinisi dalam terang kesadaran modern dari kesadaran diri yang tercipta dari dialektika penindasan dan pendidikan kolonial.
Proyek kolektif bernama “Indonesia’ ini kemudian memiliki daya fisik dan kekuatan militernya melalui campur tangan militerisasi rakyat oleh Jepang, dan menemukan tubuh birokrasi fungsionalnya dalam pemerintahan sipil era Jepang.
Dari sini jelas, pertama, perlahan dan pasti, kemunculan Indonesia sebagai tesa kultural dan lalu tesa politik terpisah dari identitas kolonial dan identitas yang diwariskan lewat tradisi adalah kebangkitan sebuah kedirian : subyek beridentitas diri, juga dan terutama di ranah kolektif ‘kekitaan’. Di tingkat individual bangkit imajinasi diri sang manusia tertindas, tercipta manusia antitesa. Dan roh manusia antitesa inilah yang menjelma-merasuk ke dalam manusia-manusia muda seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, dan Syahrir.
Di ranah kolektif ia terjelma sebagai penyebaran ide kebangsaan, penciptaan komunitas epistemik penopang-penopangnya, penciptaan dan pemusatan hubungan kekuasaan, kelahiran sistem reproduksi kesadaran, sistem kekerasan, hingga struktur instrumental-fungsional bernama birokrasi.
Kedua, di samping corak organik pertumbuhan sebuah tesa dan subyek koklektif di atas, dialektika keindonesiaan itu pertama dan terutama bermakna substantif : hanya dialektika manusia humanis-rasional dengan konteks kolonialnya itu yang mampu melahirkan gagasan kebangsaan modern di dunia kaum inlander terjajah, bukan nasionalisme sempit yang terjebak dalam politik etnik, ras, atau agama, sebuah bunuh diri prematur kesadaran tanpa mau mendewasakan diri dalam pembacaan dan refleksi atas sejarah dan teks secara sungguh-sungguh dan mencukupi.
Antitesa Dunia
Kebangkitan Indonesia sebagai antitesa, adalah satu potongan dari gumpalan-gumpalan kisah yang mendefinisikan dialektika narasi-narasi dunia. Andaikan kolonialisme dan antikolonialisme adalah dua subyek yang saling bertutur tentang yang lain, maka realitas sejarah dipadati oleh interaksi-interaksi aktor makro semacam ini.
Kebangkitan kristianitas di abad-abad awal tarikh masehi, kemunculan Islam, kebangkitan protestanisme, pemikiran demokrasi di Inggris, revolusi kemerdekaan Amerika, nasionalisme di era Revolusi Perancis, sosialisme utopis-komunisme-sosialisme anarkhis di masa Revolusi Industri, gerakan kemerdekaan Amerika Latin di abad 19, pasang naik kulit berwarna pasca Perang Dunia Kedua dan di tahun ’60-an, gerakan hak-hak sipil di Amerika dan revolusi mahasiswa Perancis 1968, hingga Teologi Pembebasan Amerika Latin adalah antitesa-antitesa pemerdekaan yang terus melahirkan diri sepanjang sejarah. Demikian juga kebangkitan Islam di seperempat abad 20 hingga saat ini, semua adalah respon dialektis dari perilaku jaman yang tak lagi ramah pada kehidupan.
Abad lalu diwarnai tiga antitesa besar : komunisme, gerakan kemerdekaan dan kebangkitan Dunia Ketiga, dan kebangkitan Islam. Yang pertama meneruskan apa yang dibangun di abad sebelumnya, yang kedua sebagai perlawanan ketika ekspansi kekuasaan kapitalisme tak lagi tertampung dalam ekosistem Barat hingga harus melakukan kolonisasi atas ekosistem di sekitarnya. Yang ketiga wujud perkawinan dari respon dialektis dunia Islam dari peminggiran panjang sekian abad lamanya dan kekosongan yang terjadi pasca runtuhnya komunisme sebagai antitesa kapitalisme di ranah politik dan hancurnya tesa modernitas di ranah argumen kultural dan filosofis. Maka menjelmalah ia dalam artikulasi menyeramkan dalam bayang-bayang ketuhanan : dalam penolakan total atas segala konstruksi yang bisa dilabeli “Barat” (dan Kristen), dalam penolakan antas kontribusi berabad-abad tradisi dan dialektika kebudayaan yang seharusnya menjadi tanah subur kearifan. Dewesternisasi dan deafganistanisasi Afganistan.
Sementara itu, di luar ini, di mata saya, beragam gerakan kemanusiaan dan keadilan yang berakar dari tradisi humanisme Barat yang muncul di era postkomunis masih tetap belum mampu mengkonsolidasikan dirinya menjadi antitesa sejarah yang menggumpal. Ke depan, dalam tarikan kuat fatalisme anarkhis di segala lini, saya masih berharap, semoga kekuatan-kekuatan kemanusiaan dan keadilan yang berpijak pada bumi subur tradisi dan pengalaman mendalam akan praksis hidup makin menemukan dayanya sebagai sebentuk sikap hidup, pilihan, laku, dan kerja-kerja politis-transformatif di segala ranah peradaban.
Sebagai tesa, di antara tesa-tesa
Pertama, Sebagai antitesa, kita berhadapan dengan kodrat eksistensial yang mau tak mau sedikit berbau reaksioner : perlawanan satu kelompok orang yang menemukan dirinya sebagai komunitas tertindas, dan menamakan kesatuan gerak perlawanan itu sebagai bangsa. Sementara roh jaman telah berlalu, kodrat sebagai tesa yang hidup memaksa bangsa ini menemukan lingkungan hidup barunya. Maka ia tak lagi sekedar bisa dipertahankan sebagai pengingkaran, sebagai non-A dari A, tetapi harus menjelmakan diri menjadi A yang baru, A yang menopang kehidupan dan martabat kemanusiaan semua orang dan ciptaan di dalamnya. Ini tidak mudah bagi sebuah bangsa yang etos hidupnya selama lebih dari satu generasi dikendalikan secara militeristik, dilatih dan dididik dalam kultur kekerasan dan doktrinasi. Belajar menjadi sipil, bukan dalam artian antimiliter, tetapi subyek partisipatif-emanispatoris dalam komunitas perjuangan hidup bersama yang mencari kualitas dan martabat hidup yang lebih baik.
Kedua, Indonesia bukan satu tesa soliter, setiap lokalitas praksis hidup akan melahirkan kesadaran, setiap kesadaran akan menemukan bahasanya. Indonesia adalah sebentuk bahasa perjuangan hidup yang kita percaya, ia terapung-apung di sapuan ombak sejarah, berbentur dan berbaur dari tesa ke tesa, dan di tengah ini semua, karena ia adalah tesa, persoalan kata dan makna yang berdaya politik kekuasaan dan kekerasan, harus meyakinkan dirinya tidak terhempas ke karang kehancuran dan konflik.
Dan bukan hanya ini, karena di dalam dirinya sendiri sebagai sebuah tesa, ia harus terus-menerus sadar akan dinamika dan tarikan arus diskursif yang siap melarutkan seluruh kesadaran individual maupun kolektif di dalamnya ke dalam lumatan baur ketidaksadaran dan kesadaran semu. Kalau sekedar bukan salah arah, kita terancam saling bungkam dan tikam.
Dalam konteks aktual ini, yang meresahkan kita, yang mencemaskan kita bersama setidaknya dua. Pertama, domestik, ketika antitesa atas Orde Baru didentifikasi sebagai antitesa atas seluruh eksistensi keindonesiaan, kedua, di tataran global, ketika antitesa atas watak antihumanis kapitalisme dan modernitas identik dengan antitesa atas totalitas keberadaban itu sendiri.
Untuk semuanya saja, dari yang paling kiri hingga yang paling kanan, atheis anarkhis, penganut identitas kedaerahan, hingga pemuja agama fanatik-radikal, antitesa Orde Baru tak identik dengan antitesa Indonesia, sebagaimana lawan kebobrokan bukanlah menghancurkan apa yang telah kita warisi dan bangun bersama. Semoga kita tak lupa akan hal ini.
Yogyakarta, 2006
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H