(Pernah dimuat di KOMPAS TEROKA 2008)
Sesaji Raja Suya
Lakon wayang Sesaji Raja Suya bertutur tentang sebuah upacara purba aswamedha. Seekor kuda dilepaskan Prabu Yudhistira untuk mengembara sebebas-bebasnya dan menapakkan kaki kemanapun ia inginkan. Dan kemanapun kuda itu pergi, menjadi tugas dari pasukan Pandhawa yang mengikuti perjalanan sang kuda, untuk berperang menaklukkan negeri itu.
Yang tak banyak diketahui orang di balik kisah purba versi Jawa ini adalah bahwa kisah-kisah Indo-Arya seperti Mahabharata, Ramayana, dan tradisi Vedic lainnya muncul tak berselang lama dari domestikasi kuda pertama oleh bangsa-bangsa Indo-Eropa pengembara di sisi timur stepa Asia Tengah 4000 SM dan tersebar luas pada 3000 SM. Bangsa Indo-Arya sendiri adalah sub famili Indo-Iranian dari famili Indo-Eropa.
Sekitar tahun 5000 SM mereka terusir dari dataran rendah yang subur di tepian Laut Hitam purba. Banjir raksasa dari luapan air Laut Tengah akibat pencairan es kutub di jaman Pleistosen akhir menaikkan permukaan laut, meluap melalui selat Bosphorus membanjiri Laut Hitam, dan mengubahnya dari danau air tawar menjadi bagian ari Laut Tengah.[1] Sejak itulah gelombang demi gelombang famili ini bermigrasi ke seluruh penjuru mata angin. Terserak ke barat memadati Eropa, tersebar ke timur beraduk dengan bangsa stepa Asia Tengah menjadi subfamili Indo-Iranian, terserak lagi ke pegunungan Hindukush sebelum akhirnya masuk ke lembah Indus, sebagai Indo-Arya, dan mendesak Dravida.
Di gunung-gunung perhentian dari perjalanan panjang penuh peperangan inilah, Sang Arjuna memanah menghancurkan tambur besar milik raja Jarasandha, pemberi isyarat bahaya di puncak bukit pertahanan kerajaan Giribajra.
Tradisi kesatriaan Arjuna, gunung-gemunung peperangan, dan kisah pengembaraan kuda hanyalah artefak-artefak terserak dari kisah lain yang tersembunyi dari milenia ke milenia, kisah petualangan manusia dan kuda, nalar dan instrumen, yang membentang membentuk narasi dan definisi ketuhanan, kekuasaan, dan makna kehidupan.
Beberapa ribu tahun sebelumnya, Revolusi Neolithik 10.000-7000 SM menandai penyeberangan ras manusia dari kehidupan nomaden menjadi menetap dan agraris, menandai lahirnya perjumpaan intensif dan ritualistik manusia dan alam, secara teologis termanifestasikan dalam kemunculan Allah Ibu, secara politis melahirkan konstruksi kekuasaan agraris, sebuah bentuk purba dari kerajaan totalitarian dan peradaban pertanian (Indus, Sungai Kuning, Efrat-Tigris, dan Nil). Revolusi yang menggelar permadani masyarakat agraris Neolithik pra Invasi Indo-Eropa.
Domestifikasi kuda, memberi makna kontinental dari migrasi besar Indo-Eropa ini. Kontinental dalam dua arti, pertama ukuran spasial dari migrasi, kedua, taraf kedalaman revolusi kebudayaan yang lahir darinya. Penjinakan yang menggulung kembali permadani peradaban Neolithik.
Pencerabutan geografis akibat migrasi yang difasilitasi kuda sebagai instrumen mobilitas ras manusia memunculkan konsekuensi yang tidak sepele. Dialektika manusia-alam retak lantaran lenyapnya rumah ekologis dan antropologis. Muncullah nomadenisme baru, masyarakat yang sedenter dalam kultur tani purba di Kaukasus, kembali menjadi nomadik. Yang terjadi adalah intensifikasi subyek dalam kilasan pengalaman yang terus berganti dalam pegerakan bangsa-bangsa melintasi ruang. Terjadi inflasi teknologi akibat intensifikasi nalar dan elaborasi penggunaan alat.