Sesuatu itu bernama Indonesia. Dan di balik nama itu, tersembunyi generasi demi generasi pemberani.
Penggunaan kata Indonesia pertama kali oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia, dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia volume IV tahun 1850. ada jarak 63 tahun sebelum kata itu digunakan pertama kali oleh seorang pribumi, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) untuk menamai biro persnya “Indonesische Persbureau “ saat dibuang di negeri Belanda tahun 1913.[5]
Dibutuhkan waktu bagi kegelisahan dimarginalisasi dari seorang doktor pribumi pertama, Dr. Abdul Rivai menjelma menjadi kegelisahan untuk memperjuangkan nasib pribumi dan akhirnya menjelma menjadi gerakan kemerdekaan. Kegelisahan nasib pribumi itulah yang menggerakkan seorang dokter sepuh dr. Wahidin Soedirohoesodo untuk berkeliling Jawa mencari dana pendidikan bagi para calon dokter Jawa. Pengalaman serupa di dunia jurnalistik menggerakkan seorang Tirto Adhisoerjo melahirkan pers nasionalis yang pertama.[6]
Aspirasi ini terus mengental hingga menggerakkan KI Hajar, EFE Douwess Dekker, dan dokter Cipto Mangunkusumo dalam Indische Partij untuk secara terbuka menyatakan keinginan kemerdekaan Indonesia. Â Cita-cita utuh menjadi republik baru diserukan Tan Malaka lewat buku Naar Repoeblik Indonesia ! di tahun 1925. Â Sementara kesepakatan bahwa indonesia adalah satu identitas bersama, satu subyek historis baru dicapai melalui Sumpah pemuda 1928.
Proses menulis Indonesia ini pun belum selesai, hingga bahkan sesudah kemerdekaan, seorang Sukarno masih terus melanjutkan karyanya merajut keindonesiaan dengan berkeliling nusantara, bertemu dengan para raja, pemimpin lokal, para pemuda, dan para pengusaha setempat untuk menguatkan persepakatan bersama bernama Indonesia.
Tanpa gadget, tanpa internet, tanpa media sosial, tanpa SEO, tanpa riset pasar, tanpa psikologi pemasaran, tanpa strategi digital, tanpa perencanaan finansial, bahkan tanpa pesawat, tanpa jalan raya yang mulus, tanpa kepastian dana pendukung, tetapi mereka berhasil menulis keindonesiaan. Just Do It, Kata Nike.
Dengan apa yang kita punya, mungkinkah mengulang peran sejarah yang sama ? Menulis dan merajut (kembali) nusantara ?
Mendownload (kembali) Indonesia, atau membiarkan bangsa menjadi layu
Bagaimana seorang Tan Malaka mendownload Indonesia ke isi kepalanya ? Bagaimana Soekarno menulis program aplikasi bernama Indonesia merdeka di ruang batinnya ? Atau bagaimana seorang Hatta menjalankan program nalar kebangsaannya ?
Mereka melihat bangsanya. Mereka menghormati kegelisahan hati mereka. Mereka menindaklanjuti pertanyaan-pertanyaan yang bergejolak di kepala mereka. Mereka membaca. Mereka berdiskusi. Mereka berorganisasi. mereka membangun aksi. Mereka berkelana dari kota ke kota, komunitas ke komunitas, pribadi ke pribadi.
Dan melalui proses inilah keindonesiaan itu terumuskan, dihidupi, dan diperjuangkan. Dari situ kita bisa memperkirakan apa yang sebaliknya terjadi bila sebuah generasi kehilangan kepekaan pada sesama anak bangsa, kehilangan minat untuk membaca-berdiskusi-berorganisasi : Keindonesiaan itu akan layu. Sebuah bangsa akan layu ketika pengetahuan, organisasi, dan aksi tidak bergulir. Ketika benih kebangsaan tidak lagi disemaikan di bumi pertiwi kenyataan.