"Aku tak kan banyak bicara padamu, binatang kerdil. Saat ini hanya ada satu keinginanku." Anjing Jantan mengucapkan kata-kata penuh ancaman, "Aku tak akan berlama-lama lagi menyaksikan dirimu dalam keadaan utuh begini. Dalam hitungan detik, aku akan meremukkan tulang-tulangmu!"
Benar saja ucapan si anjing jantan. Ia segera memorakporandakan kayu-kayu pembelenggu si Kancil. Secepat kilat diseretnya Kancil keluar dari kurungan. Dan kengerian adegan selanjutnya, saya tak berani menggambarkannya.
Namun, seperti kebanyakan cerita fiksi lainnya, 'pertolongan' datang tepat pada detik terakhir si tokoh cerita terancam bahaya. Mendadak Pak Tani keluar dari rumahnya menuju teras belakang. Sepertinya ia mendengar suara-suara gaduh dan bergegas meninggalkan takjil terakhirnya untuk melihat apa yang tengah terjadi.
Begitu menyaksikan Anjing Jantan mengeluarkan Kancil dari dalam kurungan, muka Pak Tani berubah merah padam. Diraihnya sebuah alu (alat penumbuk padi dari kayu) dan dihampirinya Anjing Jantan yang tak menyadari datangnya bahaya.
Tepat pada saat alu hendak menyentuh punggungnya, Anjing Jantan tersadar dan segera melepaskan cengkeraman tangannya pada leher si Kancil. Tanpa menunggu aba-aba, anjing itu lari lintang pukang menyelamatkan diri.
Si Kancil tentu tak melewatkan kesempatan emas ini. Seketika itu juga ia mengambil langkah seribu, berlari sekuat tenaga menembus kegelapan di antara rimbunan tanaman di kebun belakang rumah Pak Tani.
Bu Tani dan anak-anak mereka tampak tergopoh-gopoh menyusul ke belakang rumah. Dengan wajah merah membara berselimut emosi yang tinggi, Pak Tani memberikan penjelasan amat singkat, "Dasar anjing pengkhianat!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H