Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

TVRI di Masa Lalu, Iklan pun Dinanti-nanti

24 Agustus 2019   05:01 Diperbarui: 24 Agustus 2019   07:32 1738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya dalam masa pertumbuhan bertahun-tahun silam, TVRI bermain sendirian. Kala itu, sekira tahun 80-an, TVRI nyaris menjadi satu-satunya sarana hiburan di dusun orang tua saya.

Kebutuhan orang, baik anak-anak, remaja maupun dewasa, pada masa itu memang sangat sederhana. Amat jauh dibandingkan tuntutan hiburan manusia masa kini. Dan dengan program-program acaranya yang cukup sederhana, TVRI mampu memenuhi kebutuhan mereka.

Permainan anak-anak masih seputar bentengan, petak umpet atau benthik. Begitu pun dengan tontonan. TVRI dengan program-programnya yang tak terlampau banyak, sudah cukup mewadahi kebutuhan informasi dan hiburan masyarakat, setidaknya di kampung tempat tinggal kami seperti yang saya lihat sendiri.

Ada beberapa program TVRI zaman itu yang sangat kuat meninggalkan kenangan dan masih gampang terbayang hingga sekarang. Kombinasi antara kesederhanaan kebutuhan dan status 'monopoli' yang dimiliki TVRI agaknya telah menggiring ingatan saya akan hal ini.

Warta Dunia Tersaji di Depan Mata

Orang Indonesia yang hidup pada era "monopoli" TVRI nyaris tak ada yang tak mengenal acara yang satu ini. Dua orang pembaca berita, seorang pria dan seorang wanita, menjadi aktor dan aktris utamanya. Pada latar belakang dalam posisi di antara dua pembaca berita, terpampang gambar bola dunia yang "dibelah".

Seperti itulah gambaran ikon program berita paling berjaya pada masanya, "Dunia dalam Berita". Di rumah kami, tontonan yang satu ini menjadi program andalan bapak saya. Di kemudian hari, saya juga mengikuti jejak bapak turut menggemarinya.

Tayangan berita-berita dalam program ini terbagi menjadi tiga segmen. Sebagai awal berita, biasanya diwartakan peristiwa-peristiwa penting yang berlangsung di dalam negeri.

Segmen berikutnya informasi tentang kejadian-kejadian menarik dari manca negara. Dan yang terakhir, kegiatan-kegiatan dari berbagai even dunia olah raga mendapatkan porsi tersendiri dalam program ini.

Kalau saya lebih suka menantikan berita pada segmen yang terakhir ini. Terutama dari dunia sepak bola.

Tontonan yang Dikerumuni Warga Desa

Salah satu kenangan yang paling saya ingat dari keberadaan TVRI adalah tayangan kesenian daerah Jawa Tengah dan DIY yang bernama Ketoprak. Acara semacam drama tradisional berbahasa Jawa ini ditayangkan oleh TVRI Stasiun Yogyakarta.

Maka tak heran, penggemar paling fanatik program ini adalah Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sepuh (berusia lanjut) yang hanya mengenal bahasa Jawa.

Pada malam tayangnya acara ini, seingat saya seminggu sekali, warga dusun telah berkumpul di depan televisi milik salah seorang warga, setidaknya setengah jam sebelum lakon dimulai. Saat itu di dusun bapak saya hanya segelintir warga yang memiliki pesawat televisi. Dan tentu saja semuanya tanpa warna.

Warga berlomba-lomba datang duluan untuk "memesan" kursi "VIP". Jajaran pemirsa "VIP" akan mendapatkan posisi duduk yang nyaman di kursi milik tuan rumah. Tentu saja bersama sang tuan rumah.

Sementara penonton lainnya lesehan di tikar atau berdiri di belakang kursi. Namun demikian, etika tetap dikedepankan. Meskipun datang belakangan, orang tua tetap akan disilahkan duduk di kursi oleh yang lebih muda.

Waktu tunggu penayangan Ketoprak yang lumayan lama disiasati warga dengan berbagai cara. Paling umum tentu saja menggelar obrolan bertema kejadian-kejadian terbaru di seputar dusun. Sekawanan anak-anak hampir selalu mengisi waktu dengan berlarian ke sana kemari.

Sementara itu, ada pula ibu-ibu yang "panen kutu" dari beberapa kepala ibu-ibu lainnya. Yang belum ada di sana barangkali pasar tiban saja.

Bila gamelan (alat musik tradisional daerah Jawa Tengah dan DIY) telah ditabuh, maka segala aktivitas akan berhenti. Panggung teater rakyat akan segera dibuka. Semua mata tertuju ke satu titik, layar televisi, sebab acara idaman segera tayang.

Iklan pun Menjadi Hiburan

Mungkin karena sangat minimnya hiburan dan juga barangkali karena tiadanya alternatif tontonan selain TVRI, iklan pun kadang-kadang diperlakukan sebagai hiburan. "Tiada rotan, akar pun berguna", begitu barangkali pikiran orang-orang di masa itu.

Seingat saya, waktu itu ada jam khusus tayangan iklan yang diberi judul program "Mana Suka, Siaran Niaga". Dalam tempo sekitar setengah jam, TVRI memberi kesempatan para pebisnis mengiklankan produk mereka. Dan banyak pemirsa yang menikmatinya.

Beberapa potongan lagu yang merupakan latar iklan menjadi cukup populer di masa itu. Misalnya saja lagu dalam sebuah iklan obat sakit perut berirama melayu, atau lagu berbahasa Jawa dalam iklan produk jamu yang dibawakan oleh seorang penyanyi legendaris langgam Jawa.

Beberapa orang memiliki tayangan iklan favorit yang berbeda-beda. Adakalanya muncul ungkapan kecewa jika suatu saat iklan favorit yang dinanti-nanti ternyata tidak mengudara.

Kondisi Low Bat yang Menyiksa

Sebuah kenangan, entah manis entah pahit, terus teringat sepanjang saya mengingat TVRI. Di dusun yang belum terjamah aliran listrik tempat tinggal keluarga bapak saya, aki menjadi andalan sumber energi penggerak televisi.

Strum yang tersimpan dalam sebuah aki---saya belum paham ukuran kapasitas aki pada saat itu---rata-rata bertahan seminggu. Setelah sekitar seminggu penggunaan, ia harus di-recharge.

Tempat penge-charge-an aki terdekat dari rumah kami berada di dusun sebelah, berjarak sekira 500 meter. Biasanya kami mengangkut aki dengan memboncengkannya di sepeda jengki, kendaraan andalan kami.

Nah, saat-saat kritis hampir selalu terjadi saat persediaan strum aki menipis. Jika posisi low bat bertepatan dengan tayangan favorit warga yang bernama Ketoprak, atau sekali-sekali pas pertandingan tinju Muhammad Ali, alamat keributan bakal terjadi.

Memang bukan keributan sekelas demo akibat perlakuan rasis belakangan ini, tetapi tetap saja menjadi perkara. Yang pasti penonton akan kecewa. Seminggu penantian berakhir sia-sia.

Itulah beberapa kenangan akan keberadaan TVRI selaku pelopor stasiun televisi di negeri kita ini. Dalam usia yang semakin tua, dengan bekal bergudang-gudang pengalaman yang mereka punya, rasanya TVRI akan bertindak makin dewasa. Semoga tidak ikut-ikutan berburu rating semata dengan menghalalkan segala cara.

Dirgahayu TVRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun