Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mang Udi Penjual Sapu Lidi

21 Agustus 2019   17:01 Diperbarui: 5 September 2019   15:34 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


pxhere.com

"Minggu lalu aku dikasih harga tujuh ribu lho, Bu!" kata Bu Budi yang tampak amat bangga dengan 'prestasi'-nya, berhasil menawar nyaris setengah harga sapu lidi dari Mang Udi. Baru beberapa meter Mang Udi beranjak dari depan rumahku. Dua buah keranjang besar sarat perlengkapan rumah tangga menggantung pada pikulan yang membebani bahunya.


"Lain kali ditawar, Bu. Masak mau-mau aja dikasih harga segitu!"  Ia terus nyerocos menyemangatiku. Atau mungkin lebih tepat memanas-manasiku.


Aku tersenyum saja kepadanya. Seulas senyum yang kupaksakan. Setelah berbasa-basi sekadarnya, kutinggalkan Bu Budi yang masih tampak bersemangat di balik pagar rumahnya. Rumah Bu Budi persis berseberangan dengan rumahku.


Suami Bu Budi bekerja pada sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang distribusi barang-barang kebutuhan sehari-hari. Kalau tidak salah ingat, ia menjabat sebagai manajer persediaan. Sebuah mobil kelas menengah menjadi kendaraan setia yang mengantarnya berangkat dan pulang kerja. Dengan dua anak yang berusia SMP dan SD, kehidupan mereka terlihat berkecukupan.


Sambil memasuki rumah, otakku berpikir keras. Berapa sih keuntungan yang didapat Mang Udi dari sebiji sapu lidi seharga dua belas ribu? Aku tidak   yakin sampai tiga ribu. Seandainya segitu pun, berapa banyak barang yang terjual dalam sehari? Bukankah orang tidak membeli sapu lidi atau panci setiap hari? 


Apakah penghasilan yang diperolehnya cukup untuk memberi makan anak dan istri? Lantas bagaimana dengan urusan biaya sekolah anak-anaknya?


Terbayang pula bahu ringkihnya menahan beban sebegitu berat seharian. Otot-otot di kedua belah kakinya tentu juga tak sempat menikmati zat-zat gizi untuk menunjang perjalanan jauh yang harus ditempuhnya setiap hari.


Tak terasa sedikit tetesan hangat meluncur dari sudut dalam kedua mataku. Cairan itu mengenai kedua pipiku, terus mengalir dan meresap ke dalam serat-serat kain bajuku.


Dalam kondisi ekonomi yang jauh lebih baik dibandingkan Mang Udi, berbagai keluhan masing acap meluncur dari bibirku, dan juga dari dalam hatiku. Sungguh perempuan yang tak pandai bersyukur.


Bawang merah teronggok di atas talenan. Cabe dan bumbu-bumbu lainnya masih tersimpan rapi dalam wadah masing-masing. Pisau dan peralatan dapur lainnya berserakan. Kutinggalkan dapur dalam kondisi berantakan. 


Kuurungkan rencanaku memasak sop ikan kakap kesukaan suamiku. Sesuai agenda awal, aku bermaksud menyajikan hidangan istimewa itu sebagai santapan keluarga kami malam nanti.


Sedari tadi terbayang terus sosok Mang Udi. Juga istri dan keempat anak-anaknya yang pernah diceritakannya kepadaku suatu hari. Cerita yang juga didengar ibu-ibu lainnya yang mengitari dirinya saat itu.


Membayar dengan harga yang dimintanya pun kadang-kadang aku tak sampai hati. Bagaimana mungkin ada orang yang sedemikian keji menawar harga hingga nyaris separuhnya? Lalu pedagang keliling itu dapat apa?


Seribu hingga tiga ribu rupiah hanya akan menjadi recehan yang memenuhi laci lemari kita. Sementara itu barangkali akan sangat berarti bagi keluarga-keluarga amat sederhana seperti keluarga Mang Udi.


Kulangkahkan kaki menuju teras belakang. Dalam posisi duduk di bangku rotan kecil, pandangan mataku tertuju ke arah dua buah pancuran mungil yang mengucurkan  air jernih. Air yang sebagian jatuh ke kolam sederhana berisi  beberapa ekor ikan hias.


Jika tidak ke mana-mana dan tidak ada kegiatan yang harus kami lakukan, aku dan suamiku biasa menikmati senja di sini. Tempat ini menjadi sarana curhatanku kepada suamiku akan masalah-masalah yang kuhadapi. Suamiku sering hanya manggut-manggut mendengar keluhanku soal harga cabe yang membubung ke langit hingga telepon wali kelas Rafiq perihal kelakuan anak kami satu-satunya  itu.


Tidak biasanya, sepagi ini aku sudah termenung di tempat ini. Rasanya, hari ini aku tak sanggup memasak dan menyelesaikan urusan rumah tangga yang lain. Biarlah sekali ini rumahku agak berantakan. Toh masih jauh lebih nyaman ketimbang kolong jembatan.


Mang Udi dan keluarganya tentu tak memiliki tempat semacam ini. Boro-boro menghias rumah, membayar sewa rumah yang berstatus kontrakan punsering kali terlambat dari yang diperjanjikan. Laki-laki itu pernah menceritakan kondisi yang cukup sering dialaminya ini di depan kumpulan ibu-ibu yang tengah bersaing menawar panci dan aneka kebutuhan rumah tangga. Tentu saja disertai obrolan mengenai apa saja.


Saya yakin Mang Udi tidak minta dikasihani. Kami ini yang seharusnya tahu diri.


Sungguh beruntung aku bisa sering-sering menikmati gemericik air yang jatuh menimpa daun-daun beringin bonsai yang berada di bawahnya. Lalu tetesan-tetesannya meluncur membasahi kerikil-kerikil berwarna putih yang menutupi sejengkal kecil tanah di pekarangan belakang rumah. 


Energi yang kukeluarkan untuk membereskan urusan dapur tak sebanding dengan tenaga istri Mang Udi yang susah payah menjadi tukang cuci. Sesekali perempuan itu pun harus menggantikan peran Mang Udi tatkala sang suami harus mengistirahatkan kaki.


Kembali beberapa bulir air mataku mengalir. Seperti hendak bersaing dengan semburan air mancur mini yang semakin deras. Serasa kolam ikan akan meluap dan beringin bonsai segera rubuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun