Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Terlepas dari Belenggu Listrik

9 Agustus 2019   17:27 Diperbarui: 9 Agustus 2019   17:27 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan tab dalam genggaman tangan kanannya, Zulfa muncul dari balik pintu kamar. Mulutnya tak henti mencerocos.

"Ada apa sih, Ma?! Kok jadi gelap semua. AC tewas! Panas banget, nih!"

Anak bungsuku yang perempuan ini pun nyaris tak beda dengan abangnya. Hampir seluruh hari-hari libur dan waktu-waktu luangnya telah dirampok dengan rakus oleh aktivitas semu yang biasa disebut orang sebagai media sosial.

Sepertinya ritual rutin liburan kedua anak-anakku terganggu oleh padamnya listrik beberapa menit yang lalu.

Aku telah bersiap-siap "memutar" kembali ceramah yang tadi sudah kulontarkan bagi Ikhsan. Namun isyarat jari telunjuk suamiku yang ditempelkan di bibirnya mengurungkan niatku.

Sulit sekali aku membayangkannya. Baru beberapa menit berlalu tanpa aliran listrik telah menaikkan temperatur darah anak-anak itu sekian derajat Celcius. Bagaimana kalau matinya sampai setengah hari seperti yang terjadi di kawasan hampir setengah pulau Jawa beberapa waktu yang lalu? Atau seperti yang dialami para warga di 2.500-an desa di pelosok Indonesia yang sesuai data Kementerian ESDM hingga hari ini belum berkesempatan menikmati aliran listrik?

Aku kurang setuju dengan sikap suamiku yang adem-ayem saja. Bagaimana ia bisa sesantai itu membaca buku sambil mengipas-ngipas badannya dengan beberapa lembar kertas, sementara ia menyaksikan sendiri perilaku anak-anak yang blingsatan nggak keruan hanya karena mati listrik!

Aku melampiaskan protes kepadanya. Seandainya punya duit nganggur yang cukup banyak, rasanya pengen mengupah pengunjuk rasa untuk mendemonya. Anehnya, dia selow aja. Mbok ya, kasih nasihat anak-anak atau gimana gitu.

Di tengah kekalutanku yang semakin mendekati ubun-ubun, kudengar sayup-sayup suara tawa cekikikan Ikhsan dan Zulfa dari arah gudang. Kamar di bagian belakang rumah tipe 60 kami itu memang kami fungsikan sebagai tempat penyimpanan barang yang  tidak sedang aktif digunakan.

Aku bergegas menghampiri mereka. Kulihat sebuah pemandangan langka. Di lorong depan gudang, Ikhsan menggenggam sebilah pedang dan tampak sedang action seakan-akan menyerang adiknya dengan senjatanya itu. Aku ingat, pedang itu merupakan salah satu perkakas latihan wushu Ikhsan saat ia mengikuti klub wushu beberapa tahun silam.

"Ciaat! Ciaaattt!!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun