Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya, mentari mulai menembus tirai jendela kamar dengan sinar yang lembut. Namun, bagi Ari, rasanya pagi ini berbeda. Sesuatu yang tak terdefinisi merayap di hatinya, menggusur kebiasaan pagi yang biasanya penuh semangat. Di meja makan, secangkir kopi yang sudah dingin menunggu untuk diseduh, sementara jam dinding tua yang tergantung di ruang tamu terus berdetak perlahan, seperti menyadarkan bahwa waktu tidak pernah berhenti. Ari duduk di ujung meja, tangannya memegang ponsel. Layar ponsel menampilkan deretan pesan-pesan yang belum dibaca. Dia memilih untuk tidak membukanya, terlalu lelah dengan dunia yang tampaknya tidak ada habisnya. Setiap pesan, setiap email, setiap panggilan telepon yang tak terjawab, terasa seperti beban yang semakin memberatkan pundaknya.
Kehidupan Ari, yang dulunya penuh dengan harapan dan impian, kini terasa hampa. Pekerjaannya yang menuntut segala perhatian dan waktu, membuatnya merasa terjebak dalam siklus yang tak pernah berakhir. Ke mana pun dia pergi, waktu seolah selalu mengejarnya, mendorongnya untuk berlari lebih cepat. Namun semakin cepat dia berlari, semakin jauh dia merasa dari dirinya sendiri.
Ari adalah seorang manajer muda di sebuah perusahaan multinasional. Dengan latar belakang pendidikan yang baik dan pengalaman yang mengesankan, dia tampak memiliki segalanya. Namun, di balik penampilannya yang sukses, dia merasa ada yang hilang. Hari-harinya dipenuhi dengan rapat, tugas-tugas yang menumpuk, dan target yang harus dicapai. Dia sering pulang larut malam, merasa lelah, dan terkadang tidak tahu lagi apa yang sebenarnya dia cari. Suatu hari, saat sedang duduk di ruang kerjanya yang penuh dengan dokumen dan file, Ari menerima sebuah telepon dari ibunya. "Ari, kamu sudah lama tidak pulang ke rumah. Ibu rindu," suara ibunya terdengar di ujung telepon, lembut namun penuh makna. Ari terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara yang agak terburu-buru, "Maaf, Bu. Aku sibuk sekali di kantor. Mungkin minggu depan aku bisa pulang." Namun, ada sesuatu dalam suara ibunya yang membuatnya merasa cemas. Ada kesedihan yang tersembunyi, sesuatu yang tidak bisa dia definisikan. "Ari, ibu hanya ingin kamu tahu, waktu itu sangat berharga. Jangan habiskan semuanya untuk kerja, nak. Keluarga dan orang yang kita cintai adalah yang paling penting," ujar ibunya. Ari hanya bisa tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa berat. "Iya, Bu. Aku tahu. Aku janji akan lebih sering pulang." Setelah menutup telepon, Ari kembali menatap layar komputernya. Tapi kali ini, pikirannya jauh dari pekerjaan. Kata-kata ibunya kembali berputar dalam benaknya. Waktu itu sangat berharga. Waktu yang seharusnya dimanfaatkan untuk hal-hal yang penting, bukan hanya untuk mengejar kesuksesan yang entah pada akhirnya akan membawanya ke mana.
Minggu demi minggu berlalu, dan Ari semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Rutinitas yang sama, pekerjaan yang tak pernah habis, dan perasaan kosong yang terus menghinggapinya. Pagi-pagi dia sudah berangkat ke kantor, hingga malam menjelang baru dia pulang. Bahkan waktu untuk makan malam bersama teman-temannya atau sekadar berbincang dengan keluarga pun mulai hilang. Suatu sore, saat Ari sedang berjalan pulang, dia bertemu dengan Bimo, seorang teman lamanya yang kini bekerja di perusahaan yang sama. "gaes, kenapa kamu kelihatan seperti orang yang baru saja kalah dalam perlombaan?" tanya Bimo, sambil tertawa kecil. Ari hanya tersenyum kecut. "Capek, Bi. Rasanya kayak nggak ada waktu buat diri sendiri. Semua hanya soal pekerjaan, target, dan laporan." Bimo mengangguk pelan. "Iya, gue ngerti. Tapi jangan sampe lo lupa sama diri lo sendiri, gaes. Lo masih muda, masih banyak waktu buat nikmatin hidup." Ari hanya menghela napas panjang. Kata-kata Bimo terngiang-ngiang dalam pikirannya, namun dia merasa seperti terjebak dalam sebuah lingkaran yang tidak bisa dia hentikan. Beberapa hari setelah itu, Ari mulai merasakan perubahan yang tidak diinginkan dalam tubuhnya. Kepala terasa berat, napasnya sesak, dan matanya mulai terasa buram. Namun, dia memilih untuk mengabaikan perasaan itu. Baginya, bekerja adalah hal yang paling penting. Jika dia berhenti, siapa yang akan menggantikannya? Pekerjaannya adalah segalanya. Namun, keadaannya semakin memburuk. Suatu pagi, saat dia sedang menyiapkan laporan penting untuk rapat, tubuhnya terasa begitu lemas. Tiba-tiba, pandangannya gelap, dan dia jatuh pingsan di kantor. Ari terbangun di rumah sakit dengan selang infus yang menempel di tangannya. Tubuhnya terasa lemah, dan ada rasa sakit yang mengganggu di dada. Saat matanya terbuka, dia melihat ibunya berdiri di samping tempat tidurnya, dengan wajah penuh kecemasan. "Ma... Ma, apa yang terjadi?" tanya Ari dengan suara parau. Ibunya tersenyum lemah. "Kamu pingsan di kantor, Nak. Dokter bilang kamu kelelahan. Kamu harus lebih perhatian pada kesehatanmu." Ari mengangguk pelan, merasa cemas. "Tapi aku... aku harus bekerja, Ma. Pekerjaan ini sangat penting." Â Ibunya memegang tangan Ari dengan lembut. "Ari, pekerjaan memang penting, tapi bukan segalanya. Jangan biarkan waktu berlalu begitu saja tanpa memberi tempat untuk dirimu sendiri, untuk orang-orang yang kamu cintai." Ari menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Tiba-tiba, semua yang terjadi dalam hidupnya terasa seperti kebodohan. Waktu yang dia habiskan untuk mengejar kesuksesan yang tidak pasti, mengabaikan kesehatan, mengabaikan keluarga, dan yang paling penting---mengabaikan dirinya sendiri.
Setelah keluar dari rumah sakit, Ari memutuskan untuk mengambil cuti panjang. Dia kembali ke rumah orang tuanya, sebuah rumah kecil yang sederhana, namun penuh dengan kehangatan. Hari-hari yang dulu terasa begitu membosankan, kini menjadi waktu yang penuh makna. Ari mulai berkeliling kota, mengunjungi teman-temannya yang sudah lama tidak dia hubungi, dan menghabiskan waktu dengan ibunya. Mereka berbincang banyak hal---tentang masa kecilnya, tentang impian yang belum tercapai, dan tentang waktu yang terlalu cepat berlalu. Suatu sore, Ari duduk di teras rumah, memandangi matahari yang mulai terbenam. Ibunya duduk di sampingnya, dengan senyuman yang penuh kedamaian. "Ibu senang kamu bisa kembali ke sini,
Nak," kata ibunya dengan lembut. Ari menggenggam tangan ibunya. "Aku menyesal, Bu. Aku terlalu sibuk mengejar sesuatu yang aku pikir penting, padahal yang terpenting adalah waktu yang aku habiskan bersama kalian." Ibunya mengelus rambut Ari dengan penuh kasih. "Waktu yang tertinggal, Nak. Jangan biarkan waktu terus berlalu tanpa kamu menyadarinya. Setiap detik bersama orang yang kita cintai adalah harta yang tak ternilai."
Hari-hari selanjutnya, Ari semakin menyadari betapa berharganya waktu yang dia miliki. Dia mulai kembali bekerja, tetapi kali ini dengan cara yang lebih bijaksana. Dia mengatur waktu, menyisihkan waktu untuk diri sendiri, untuk keluarga, dan untuk teman-teman. Pekerjaan tetap penting, namun tidak lagi menjadi satu-satunya hal yang menguasai hidupnya. Ari mulai merasa lebih hidup, lebih ringan. Dia tidak lagi merasa tertekan oleh tuntutan yang tak ada habisnya. Dia belajar untuk menikmati setiap momen, sekecil apa pun itu, dan menghargai setiap detik yang dia miliki. Namun, hidup memang penuh dengan kejutan. Suatu hari, beberapa bulan setelah perubahannya, Ari menerima kabar yang sangat mengejutkan. Ibunya yang selama ini selalu sehat, tiba-tiba jatuh sakit. Penyakit yang datang begitu cepat, membawa ibunya ke rumah sakit dalam keadaan kritis.Â
Ari merasa dunia seakan runtuh. Dia duduk di ruang rumah sakit, menggenggam tangan ibunya yang lemah. Saat itu, dia menyadari bahwa waktu yang tersisa sangat terbatas. Dia memandang wajah ibunya yang pucat, dan hatinya dipenuhi penyesalan. Penyesalan karena tidak lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibunya, penyesalan karena terlambat menyadari betapa berharganya waktu yang tertinggal. "Ibu... maafkan aku," kata Ari dengan suara tertahan. Ibunya membuka matanya yang sudah lelah dan tersenyum lemah. "Tidak ada yang perlu kamu sesali, Nak. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Waktu kita bersama memang terbatas, tapi yang penting adalah bagaimana kita mengisinya dengan cinta." Ari menahan tangis, memeluk ibunya dengan erat. Dia tahu, tidak ada lagi waktu untuk mengulang masa lalu. Namun, dia berjanji, sisa waktu yang ada akan dia habiskan dengan penuh makna.
Beberapa hari setelah itu, ibunya pergi untuk selamanya. Ari merasa kehilangan yang sangat dalam. Namun, dia tahu bahwa ibunya telah mengajarkannya sebuah pelajaran yang sangat berharga---bahwa waktu adalah hal yang tak ternilai, dan kita harus menghargainya dengan cara yang paling indah. Meskipun berduka, Ari memutuskan untuk melanjutkan hidupnya dengan penuh makna. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang-orang yang dia cintai, berbagi momen indah, dan menghargai setiap detik yang dia punya. Ari tidak lagi mengejar kesuksesan dengan terburu-buru. Dia tahu bahwa hidup ini bukan tentang berapa banyak waktu yang kita miliki, tetapi bagaimana kita mengisinya dengan cinta, kebahagiaan, dan kenangan yang tak terlupakan. Beberapa tahun setelah itu, Ari berdiri di depan sebuah makam. Di sana, tertulis nama ibunya, bersama dengan sebuah kata yang sederhana namun penuh makna: "Waktu yang terbuang, kini kembali menjadi kenangan yang abadi." Ari menunduk, menatap nisan itu dengan penuh haru. Dia menyadari bahwa meskipun waktu tidak bisa diputar kembali, setiap kenangan yang tertinggal akan selalu hidup dalam hatinya. "Terima kasih, Bu," bisiknya, "untuk segala waktu yang kita habiskan bersama."Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI