Tulisan ini dibuat ketika menjelang H-1 Ramadan.  Perbincangan mengenai puasa dimulai ketika saya dan anak-anak bersiap-siap untuk menyantap sarapan pagi, untuk mengawali aktivitas pagi hari yang cukup sejuk. Anak-anak membicarakan  berbagai tanggapan tentang makna kata puasa yang banyak dilontarkan di berbagai media sosial, banyak tanggapan positif dan tentunya beberapa tanggapan negatif, seperti puasa hanya sebatas menahan lapar dan haus, serta beberapa komentar yang terkesan kurang mengenakkan. Sontak anak-anak tidak terima dengan komentar negatif yang ada di media sosial. Menanggapi hal itu saya hanya tersenyum kecil, melihat anak-anak memberikan reaksi yang emosional.
Peristiwa ini mengingatkan saya kembali pada kejadian  ketika saya kecil. Saya  adalah seorang mualaf. Masa kecil saya lebih banyak  dihabiskan dengan bermain bersama teman-teman dari berbagai macam keyakinan, mereka mayoritas  muslim. Ketika Ramadan tiba, teman-teman muslim saya , bersiap-siap dengan berbagai ragam acara yang akan mereka buat di bulan Ramadan nanti. Namanya juga anak-anak, acara yang dibuat tentunya bukan acara-acara besar, mereka dan saya salah satu pesertanya (meskipun pada saat itu saya belum menjadi muslim), membuat uang kertas sebanyak-banyaknya, dengan cara menggosokkan kertas diatas uang logam seratus rupiah, generasi X tentu paham dengan maksud saya. Tujuan pembuatan uang kertas ini adalah untuk ditaburkan ketika terdengar azan Magrib berkumandang  di bulan Ramadan.
Saat itu saya membayangkan Ramadan adalah semacam festival yang akan dirayakan selama 1 bulan penuh oleh kaum muslimin, dan saya dilibatkan dalam acara tersebut, tentu saja senangnya bukan main. Saya juga sempat mencoba untuk berpuasa seperti teman-teman muslim lainnya, hasilnya saya tak sekuat mereka, tubuh saya jadi lemah karena menahan lapar, mungkin karena saya berpuasa tanpa melakukan sahur di pagi hari. Sejak saat itu saya tak pernah puasa lagi. Saya melihat teman-teman muslim saya, adalah sosok yang hebat dapat menahan tidak makan dan minum sampai menjelang Magrib, dan disisi lain saya kasihan melihat mereka menahan makan dan minum. Pemahaman saya waktu itu adalah "puasa itu berat sekali", saya tak dapat mengerti kenapa teman-teman masih dapat berlari dan tertawa meskipun puasa.
Sejak menjadi mualaf,  perlahan-lahan saya mempelajari tentang arti dan makna puasa. Tentu saja tidak dengan cara instan, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menemukan arti essensial puasa menurut saya pribadi. Alhamdullilah saat ini saya dapat merasakan kenikmatan tersendiri dengan berpuasa. Saya merasakan, hubungan saya dengan sang Maha Pencipta serasa lebih dekat, seolah-olah ada hal yang menyenangkan di dalam hati, yang tentunya tak dapat saya ceritakan secara jelas di sini. Sejak saat itu puasa saya rasakan bukan sesuatu yang terlalu berat, seperti yang saya  pikirkan sewaktu masa kanak-kanak, karena ada sesuatu hal yang saya dapatkan dalam menahan lapar dan haus.
Dari pengalaman ini saya menarik benang merah tentang pembicaraan anak-anak di pagi hari, apabila seseorang mengatakan bahwa puasa itu berat, atau mungkin kurang mengenakkan, hal itu terjadi karena frame reference/kerangka berpikir  mereka dan kita (yang sudah merasakan nikmat puasa) berbeda, apakah mereka salah? Tentu saja tidak. Perbedaan frame of reference disebabkan oleh berbagai macam faktor yang ada di sekelilingnya. Bisa jadi mereka berada di lingkungan yang minim pengetahuan tentang ibadah puasa Ramadan.Â
Menurut pengetahuan mereka puasa Ramadan adalah tidak makan dan minum sampai menjelang Magrib, mungkin hanya sebatas itu. Mereka membayangkan tentu kita umat muslim akan lapar dan haus. Secara logika memang benar , pemikiran mereka tidak sepenuhnya salah, hanya dapat dikatakan kurang lengkap. Kita sebagai umat muslim sudah seharusnya memberikan informasi yang lebih lengkap dan lebih baik tentang Ramadan, bukan marah-marah dan menghakimi dengan tidak jelas. Bila kita mengedepankan emosional, yang terjadi banyak teman-teman di sekitar kita yang kurang paham tentang Ramadan malah semakin tidak paham.Â
Semua orang pasti memahami, masalah keyakinan, adalah masalah perjalanan hati yang tentunya satu orang dengan yang lainnya berbeda-beda. Jadi, kita tidak dapat memaksakan seseorang untuk langsung mengerti terhadap sesuatu hal yang kita pahami.  Di bulan yang suci  ini marilah kita menjadi orang yang bijak dalam memberikan penjelasan tentang makna Ramadan kepada orang-orang sekitar, sehingga tidak terjadi saling menghakimi satu dengan yang lain.
Semoga Ramadan tahun ini memberikan kedamaian untuk kita semua.
(ed. Nurhasanah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H