Tepatnya di Desa Tangkisan, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga ada satu tempat yang membuat jatuh hati orang yang datang berkunjung. Bebatuan yang tersusun dengan rapi dan bentuk yang beragam membuat tempat ini begitu menarik apalagi bagi para pecinta fotografi.
Namun, di balik kecantikannya ini ternyata menyimpan segudang misteri dari mulai mitos belaka hingga aroma-aroma mistis yang membuat bulu kuduk merinding mendengarnya. Kurang lebih memakan waktu 15 menit dari pusat kota Purbalingga untuk sampai di titik sungai yang berbatu.
Masuk melewati Dukuh Sokawera menelusuri jalan desa hingga menuju jalan sempit dan sama sekali belum tersentuh dengan aspal. Jalan berdebu akibat memasuki musim kemarau. Kanan kiri jalan akan disambut dengan sawah yang sedang proses tanam.
Di sebelah kiri ada sebuah bukit yang tertutup rimbunnya pepohonan besar, karena hari masih siang rasa takut pun sedikit tersingkirkan. Di depan ada jembatan yang menghubungkan ke  dukuh lainnya yakni Dukuh Maung dan ini yang menjadikan nama pada sungai yang membelah antar dukuh, atau orang sering menyebutnya Kedung Maung.
Sejenak mendengar kata 'Maung' pasti akan terbesit dengan raungan harimau ataupun hewan-hewan buas lainnya. Tapi kalau ditelisik lebih dalam menurut pendapat sendiri memang ada unsur yang membaut bulu kuduk merinding ketikan mengetahui ceritanya.
Sesampainya di tempat yang agak luas, sepeda motor diberhentikan. Sejauh mata memandang rasa-rasanya masih cukup aman, meskipun mata tak pernah berpaling dari gundukan bukit di balik plang Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purbalingga untuk menjaga kebersihan sungai.
Rasanya jika hanya melihat-lihat dari atas jembatan memang ada yang kurang, mau tidak mau untuk mendapatkan hasil foto yang bagus harus turun ke bawah bebatuan. Melihat dari kejauhan pun ada orang-orang yang sedang mendulang pasir dan juga memancing tapi jauh dari titik untuk foto atau Kedung Maung.
Dengan tekad yang kuat, kami beranikan untuk turun ke bawah melintasi bebatuan besar dan juga jalan berundak. Perlu kehati-hatian untuk sampai ke bawah karena bebatuannya yang ada tidak berbentuk melainkan bulat hanya menyisahkan sela-sela bebatuan untuk turun.
Kurang lebih 10 meter kedalaman sungai tersebut atau kedung atau cekungan sungai. Persis di bawah jembatan, air yang menggenang berwarna hijau pekat dan airnya begitu tenang tidak ada gemercik air atau apapun pertanda kedungnya sangat dalam.
Mulanya biasa, berfoto dan meminta seorang teman untuk mengabadikan momen di bawah jembatan tadi dengan background bebatuan alami. Tidak lama dari berfoto dan menikmati aliran sungai di ujung sana tiba-tiba muncul keanehan.
Ini keanehan pertama yang saya rasakan, entah teman-teman merasakannya atau tidak karena hanya saya yang berada di titik tersebut yang lain agak menjauh karena mengambil foto. Saya sempat bergumam lirih "Kok, bau amis ya? Bau apa ini?"
Saya melihat sekitar dan sempat mengutarakan tapi tak ada yang mendengarnya satupun. Dan akupun melihat view yang cukup bagus untuk foto, awalnya biasa mungkin bau ikan mati atau bau endapan air tak lagi dipedulikan.
Lanjutlah saya berpindah posisi ke bebatuan yang lebih dekat dengan air sungai, tadinya ingin mencoba memegang air sungai tapi melihatnya yang hijau pekat jadi ragu dan memilih untuk tidak menyentuh air. Aliran air ada yang mengalir perlahan melintasi bebatuan kecil, masih dengan kebiasaan yang sama meminta foto dengan objek yang berbeda.
Memang foto itu membuat lupa dengan perasaan aneh yang tadi sempat saya rasakan. Sedang serunya berfoto tiba-tiba seorang warga di ujung sungai memberikan kode agar kami segera beralih dan naik dari tempat itu.
Tak ada panggilan hanya kode tangan karena jaraknya yang memang cukup jauh, agar kami semua tidak berlama-lama berada di situ. Tapi dasar sayanya yang memang hobi foto mau tidak mau harus dapat gambar yang terbaik.
Orang berbaju orange di ujung sana yang sedang memancing pun menghilang entah kemana. Dan kami akhirnya menyelesaikan foto-foto dan beranjak naik ke atas sambil mengamati dari atas pesona Kedung Maung.
Setibanya di atas ternyata orang yang tadi memberikan peringatan sudah berada tepat di dekat motor terparkir dan titik kami naik ke atas. Kaget, ada warga yang benar-benar peduli dan mau memperingatkan kami seperti ada bahaya yang akan menghadang kami bila kami tidak mau mendengarkannya.
Dari situ, seorang pemuda berbaju orange tadi memberikan informasi agar kami tidak terlalu mendekat dengan air. Konon kedung tersebut setiap tahunnya meminta tumbal entah cerita itu benar atau tidak tetapi menurut pendapat pemuda tersebut setiap tahun ada orang yang hilang hanyat bahkan tidak ditemukan.
Beruntung kami sudah berada di atas, dan kata pemuda itu pula hindari waktu-waktu dhuhur atau maghrib agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sebut saja tiba-tiba ada yang menarik dari belakang atau dalam sungai. Antara percaya dan tidak percaya memang, tapi memang sering ada kejadian seperti itu dan sebagai pendatang kami memang harus mendengarkan warga setempat.
Cerita tentang Kedung Maung pun belum selesai, konon ada pula ikan besar seukuran meja entah meja seperti apa yang dimaksud tapi tanpa ekor yang sewaktu-waktu bisa muncul. Dan bagi mereka yang didapati melihat sosok ikan tersebut bisa jadi pertanda sial atau sehari setelahnya bisa mengalami sakit atau demam berkepanjangan.
Di Kedung Maung ini pula ada sebuah cekungan yang letaknya persis di bawah jembatan dan cekungan ini bukanlah buatan manusia tapi memang fenomena alam yang menjadikannya seperti itu. Ada yang berpendapat cekungan tersebut adalah pintu masuk gua yang pintunya akan terbuka sewaktu-waktu dan hanya orang tertentu yang bisa melihatnya.
Dan yang paling membuat bulu kuduk merinding adalah bukit yang berada di dekat sungai tadi ternyata merupakan area pemakaman kuno yang juga sedikit angker. Beruntung kami datang berbarengan dan di siang bolong jadi cukup aroma mistis di sungai saja yang kami rasakan.
Mau tidak mau kami menyelesaikan perburuan foto di Kedung Maung. Tempatnya memang cantik cocok untuk mereka pecinta fotografi tapi rupanya Kedung Maung ini menyimpan misteri dan nuansa mistis yang cukup membuat ngeri.
Tapi di balik kengerian yang saya alami, saya mengakui tempat itu memang cantik alami. Bukan bebatuan yang sengaja diletakan dan ditata tetapi alamlah yang sudah membentuk gugusan bebatuan itu menjadi lebih indah.
Cerita tentang misteri dan aroma mistis yang sempat kami alami, percaya atau tidak percaya boleh dianggap mitos belaka, tapi mungkin akan berbeda cerita ketika ada seseorang yang bisa melihat sisi lain. Sebagai pendatang mau tidak mau harus mengikuti aturan dari penduduk sekitar agar tetap aman dan selamat. (Lilian Kiki Triwulan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H