Everett M. Rogers dalam bukunya, Communication Technology; The New Media in Society (dalam Mulyana, 1999), mengatakan bahwa dalam hubungan komunikasi di masyarakat, dikenal empat era komunikasi yaitu, era tulis, era media cetak, era media telekomunikasi, dan era media komunikasi interaktif. Dalam era terakhir, media komunikasi interaktif dikenal media komputer, video teks, dan tele teks, teleconferencing, TV kabel, dan sebagainya. (dalam www.miftatnn.com/2012/10/pengaruh-perkembangan-media-massa.html)
Pada era ini, tidak bisa dipungkiri bahwa media digital menjadi salah satu sumber utama penyampai pesan. Media menciptakan pengaruh yang besar bagi kalangan manusia di muka bumi ini, karena sifatnya yang menjadi perantara untuk dapat menghubungkan kegiatan-kegiatan antar manusia. Di Indonesia, perkembangan media dari masa ke masa sangatlah menjadi salah satu pegaruh dalam nilai estetika seni dan kecintaan terhadap budaya. Demikian juga berpengaruh terhadap kesadaran tiap individu yang memiliki kepedulian terhadap seni dan budaya.
Dapat kita rasakan bahwa teknologi menjadi alat yang mengambil alih beberapa fungsi sosial yang dimiliki manusia sehari-hari. Media digital mendominasi kehidupan kita, yang seharusnya berbaur, namun dengan teknologi, manusia menjadi makhluk yang individualis, bahkan terkesan malas. Dan terkadang mempengaruhi emosi serta pertimbangan kita dalam hidup. Maka dari itu, patut diakui bahwa media massa dalam bentuk digital menjadi unsur terpenting kehidupan pada era ini. Karena kebudayaan masyarakat tidak terlepas dari media, dan budaya itu sendiri dipresentasikan dalam sebuah media.
Namun di sisi lain, kemajuan teknologi juga menjadikan minimnya nilai budaya yang kental di masyarakat. Karena bisa dilihat bahwa, media pada saat ini telah menyampaikan banyak pesan dan informasi yang memiliki berbagai makna. Salah satunya adalah manipulasi informasi, berita hoax, berita-berita yang menakutkan (seperti kekerasan, kejahatan, pelecehan seksual di bawah umur, dan lain sebagainya), sajian-sajian yang sangat tidak edukatif, bahkan yang mengandung unsur SARA pun ada. Begitu banyak sajian di televisi yang tidak memiliki mutu, namun tetap dihadirkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan alasan rating.
Jika sudah seperti ini, bagaimana sikap orang-orang yang masih memiliki kecintaan terhadap nilai seni dan budaya? Yang seharusnya selalu diangkat dan tetap memiliki derajat di atas segala bentuk teknologi. Dalam hal ini, pers dan budayawan adalah dua jenis profesi yang memiliki keterkaitan. Di daerah-daerah tertentu, misalnya Banten, terdapat komunitas-komunitas yang masih mengangkat nilai seni dan budaya, agar tetap lestari. Karena seniman-seniman Banten terutama para perupanya dari waktu ke waktu dengan segala keprihatinan dan keterbatasannya, tetap eksis dan hadir dalam setiap perhelatan kesenian. Mereka mencoba membangun seni rupa di Banten dengan segala keterbatasannya, dan itu dibuktikan dengan terselenggaranya pameran besar seni rupa Banten pada tahun 2013 di Galeri Nasional, dengan sponsor Galeri Nasional dan Disbudpar Provinsi Banten bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Seni Rupa Banten (LPSB), yang terbentuk pada akhir tahun 2011. Kemudian pada tahun 2014, Galeri Nasional Indonesia mengagendakan untuk pameran seni rupa di Banten dengan memamerkan karya-karya maestro seni rupa Indonesia koleksi Galeri Nasional. Seperti karya Affandi, Sudjojono, Henk Ngantung, Popo Iskandar, dan lain-lain yang disandingkan dengan karya-karya perupa Banten (hasil seleksi), bekerja sama dengan perupa-perupa Banten (LPSB) dan Pemerintahan Provinsi Banten (agenda rutin tahunan Galeri Nasional), dengan mengambil tema “Hirup Jeung Huripna”, di Pendopo Ex Gubernur Banten. (dalam katalog Sanggar Embun, 2015:4)
Banten masih harus mengejar ketinggalannya, karena secara Nasional keberadaan seni rupa di Banten masih seperti ada dan tiada. Ketika bicara tentang Banten, tetap saja para kolektor maupun pemerhati seni belum yakin bahwa Banten memiliki potensi seni yang tak bisa dianggap ringan. Diakui atau tidak seni rupa di Banten (sebelum Banten menjadi Provinsi), keberadaannya seperti hidup enggan mati tak mau, tidak ada gaung dan kegiatan yang cukup berarti dalam skala nasional, dan di lain pihak apresiasi masyarakat dan pemerintah saat itu masih jauh dari kata berada. Sanggar-sanggar yang ada di Banten eksistensinya timbul tenggelam, kalau toh ada hanyalah bersifat memenuhi kebutuhan secara kodrati, minim upaya dalam meningkatkan kualitas kekaryaan. Namun setelah Provinsi Banten terbentuk, gairah berkesenian tumbuh subur, juga sanggar-sanggar dan komunitas kesenin bermunculan di tiap daerah. (dalam katalog Sanggar Embun, 2015:4-5)
Salah satu contohnya adalah Sanggar Embun, seiring dengan perkembangan kesenian di wilayah Banten, dalam usianya yang ke-9, meresmikan sanggarnya setelah lama terlunta-lunta. Didirikan pada tanggal 29 November 2006. Diprakarsai oleh 4 perupa Serang, yaitu Sumaeji – Deden Mulyana – Adhy Handayana – Yb Roy, yang masing-masing memiliki kesamaan visi dan misi dalam mengkonsentrasikan pada bidang seni rupa. Merupakan sebuah sanggar yang berisi dari berbagai macam usia, dari yang terhitung junior hingga seniman-seniman senior, yang telah lebih dulu mengenyam pengalaman dalam bidang seni selama puluhan tahun. Pada usianya yang ke-9, dalam kepemimpinan Q’bro Pandam, dengan modal semangat dan kecintaan, Sanggar Embun berkemas dan mengembangkan diri, hingga anggotanya pun kian bertambah. Basecamp sederhana yang memiliki arsitektur unik dengan berbagai pajangan seni seperti patung, pahatan kayu, foto-foto, lukisan, juga barang-barang antik yang memiliki nilai seni cukup tinggi ini beralamat di JL. KH Fatah Hasan, Komplek Ciceri Indah, Jalan Saribanon, Blok G 20, Serang, Banten.
Dengan diresmikannya Sanggar Embun tersebut, seni di Banten menjadi salah satu hal yang tidak boleh dipandang lagi sebelah mata. Lewat seni, kita bisa menyampaikan pendapat atau kritik untuk macam-macam konflik yang sedang marak terjadi di kalangan masyarakat, seperti kejahatan korupsi, dan sajian media massa yang menyampaikan berita menakutkan ataupun pesan pesimisme, seniman bisa menumpahkannya lewat lukisan atau seni tiga dimensi (lukisan, pahatan kayu, dan tanah liat) lainnya. Maka seni menjadi salah satu media yang paling memiliki nilai kedamaian juga toleransi yang baik bagi para penikmat seni maupun yang awam.
Pers dalam hal ini menjadi orang yang sangat berpengaruh dalam membantu usaha para seniman untuk mengangkat potensi seni di daerahnya. Pers menjadi perantara antara seni dan masyarakat. Kerapkali wartawan seni yang mengangkat isu seni dan budaya selalu mencari bahan yang memang menjadi konsumsi masyarakat sebagai selingan di tengah maraknya isu kontroversial lainnya. Tugas pers dalam hal ini adalah meliput perhelatan atau isu seni budaya di daerahnya dan mengangkatnya menjadi potensi seni yang dapat dibanggakan. Menjadikan teknologi sebagai alat yang memiliki derajat di bawah seni dan budaya. Menjadi perantara ke-2 setelah pers mengolahnya menjadi sajian yang meyakinkan masyarakat bahwa seni adalah sesuatu yang memiliki daya jual yang baik dan tidak dipandang sebelah mata lagi. Lewat teknologi lah pers dapat meyakinkan massa bahwa seni adalah suatu hal yang dapat diapresiasi masyarakat juga dapat berinteraksi dan berkomunikasi dalam bertukar pikiran, berbagai informasi dan kegiatan manusia terdapat di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H