Di era digital, media sosial dan influencer dapat menjadi kendaraan sukses sebuah brand. Kekuatan kolaborasi antara brand dengan influencer media sosial adalah cara efektif menjangkau pelanggan. Selain itu, kesuksesan pemasaran memerlukan pendekatan strategis dan otentik.
Film Emily in Paris merupakan visualisasi sempurna dari cara kerja influencer dan exposure untuk kesuksesan suatu brand. Adegan-adegan film memperlihatkan pentingnya mencari segmen pasar yang tepat dan kerjasama dengan influencer. Semakin tinggi rating produk di media sosial, segmen pasarnya menjadi lebih luas karena produk itu makin populer.
Emily menggunakan akun Instagram untuk mendokumentasikan pengalamannya di Paris. Posting-posting Emily memperlihatkan busana-busana mewah, perlengkapan kecantikan, pesona kota Paris, hingga kuliner. Daya tarik dari posting-posting Emily bukan hanya caranya memperlihatkan suatu produk. Emily lebih menciptakan aspirasi dan hasrat untuk follower-followernya. Dengan cara itulah, dia mempromosikan brand-brand papan atas yang menjadi pelanggannya.
Film itu menekankan pentingnya keotentikan dan transparasi seorang influencer. Suksesnya Emily adalah efek dari originalitas dan kejujurannya dalam marketing. Dia menceritakan pegalaman sesungguhnya plus memberikan opini-opini yang menarik. Hal itu membuat follower-follower Emily percaya dan cenderung menantikan postingnya. Lebih dari itu, mereka juga tertarik untuk membeli produk tersebut.
Episode 3 yang berjudul Sexy or Sexist menuai banyak perdebatan sejak dirilis. Di episode ini, Emily yang baru bergabung di satu agensi marketing bertugas mempromosikan parfum mewah. Yang paling menarik dari Sexy or Sexist tentu saja perbedaan pendapat, seperti yang tampak pada judulnya. Prinsip Emily berseberangan dengan prinsip brand tersebut dalam mengiklankan satu parfum baru. Tetapi, sutradara film mampu mengemas konflik tersebut menjadi adegan yang berkelas sekaligus menggugah pikiran.
Untuk Sylvie, atasan Emily, opini-opini kontroversial dan segar dari Emily adalah bencana untuk agensi. Personil marketing Sylvie lainnya terbiasa menuruti keinginan pelanggan tanpa melihat dari perspektif lain. Tetapi di puncak perdebatan, Emily justru mendapatkan respek dan pujian dari pelanggan. Pelanggan jadi menyadari bahwa kedalaman persoalan dan kompleksitas Sexy or Sexist adalah alat pemasaran yang ampuh dan mengesankan.
Episode 3 ini fokus pada pentingnya originalitas dan kejujuran dalam pemasaran. Pelanggan lebih menyukai, percaya, bahkan setia dengan brand yang transparan dan melekat dengan prinsipnya. Esensi marketing inilah yang penting bagi sebuah brand dan perlu diperhatikan dengan serius. Apalagi di era digitalisasi, dimana pelanggan dapat dengan mudah dan cepat menyebarkan opini dan pengalamannya.
Sexy or Sexist memperlihatkan pada dunia bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang berharga. Betapa penting bagi siapapun untuk menghormati dan menghargai perspektif-perspektif yang berbeda, sekalipun dia tidak menyetujuinya. Begitupun dalam dunia marketing, brand perlu menghargai opini-opini oposisi.
Emily menunjukkan pada penonton bahwa setiap orang berhak membela keyakinannya. Bahkan dia memperlihatkan jika membuat perbedaan, sekalipun di hadapan oposisi, adalah hal yang mungkin. Dengan setia pada pendiriannya, tetap original dan jujur, Emily justru membangun hubungan yang lebih kuat dan bermakna dengan para pelanggannya.
Sepenggal pelajaran dari Sexy or Sexist: