"Segala program Merdeka-Merdekaannya Nadiem ini wow, yah," ujar Santi.
Siska, yang sibuk dengan HP barunya, menjawab sambil lalu, "Ah, biasa saja. Nanti juga hasilnya akan sama saja," lalu Siska melanjutkan, "Beda Menteri beda kurikulum, doang."
Santi membantah, "Saya optimis dengan kerja Nadiem. Ini program-program yang bagus."
Santi menarik nafas dan melanjutkan, "Contohnya saja Mahasiswa Merdeka dan Kampus Merdeka. Ini keren banget, deh."
Santi dan Siska seperti masyarakat yang terbagi pada 2 kubu. Yang satu pro dengan Program Merdeka Belajar, dan pihak lainnya kontra.
Selain 2 kubu ini, tentu saja ada kelompok yang memilih netral. Bahkan, ada pula yang tidak peduli atau tidak mengerti apapun.
Saya sendiri cenderung pro dengan Program Merdeka Belajar. Sebab sejak dini, pelajar dituntut menjadi aktor aktif.
Berbeda dengan sistem pendidikan yang lalu-lalu. Dimana pendidikan di Indonesia seperti naga yang tidur puluhan tahun.
Dengan berlakunya Merdeka Belajar, baik siswa atau mahasiswa ditantang, sekaligus diberi kesempatan, untuk mengembangkan kreativitas, kapasitas, dan kepribadian.
Siswa Merdeka bukan lagi objek pembelajaran. Namun dia dituntut menjadi subjek pembelajaran, yang secara aktif mengembangkan kemandiriannya dalam mencari dan menemukan pengetahuan.