Mohon tunggu...
Lilia Gandjar
Lilia Gandjar Mohon Tunggu... Tutor - Penikmat aksara dan pencinta kata-kata.

Penyuka dunia tulis menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dedikasi Mencerdaskan Anak-anak di Daerah 3T

6 Juli 2020   09:22 Diperbarui: 6 Juli 2020   09:18 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hak anak untuk bersekolah meskipun dari rumah, harus tetap terpenuhi selama pandemi." - Mega Indrawati, Education Team Leader WVI

Setiap anak memiliki hak memperoleh pendidikan dan pengajaran. Di mana tujuannya adalah untuk mengembangkan seluruh potensi yang ada pada diri seorang anak.

Ketika seorang anak lahir, Tuhan bukan hanya memberikan tubuh dan kelengkapannya. Sekaligus Tuhan sudah tetapkan tugas apa yang harus dilakukan si anak di dunia. Sehingga, Tuhan juga perlengkapi anak itu dengan bakat dan minat.

Dalam proses mengembangkan kapasitas anak, yang perlu dilatih adalah kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Proses belajar di sekolah mengembangkan kecerdasan intelektual anak.

Mengapa tiap anak perlu mengembangkan kecerdasan intelektual? Agar mereka dapat bertahan hidup di masa depan.

Untuk mencerahkan masa depan anak-anak 3T, ada sejumlah orang yang rela mengabdikan dirinya. Ada komunitas Wahana Visi Indonesia, juga guru-guru yang bersahaja.

"Kami mengunjungi anak-anak untuk mendampingi belajar, menjemput tugas yang sudah dikerjakan dan memberi tugas untuk mereka kerjakan." - Rina, guru di NTT

Begitupun dengan Maria Ernaliana Seko dan Kristina Ani. Saat diberlakukan Sekolah Darurat, guru-guru SDK Galawea di Kecamatan Nangaroro, NTT, rela berkeliling desa setiap harinya. Dengan tujuan mengunjungi anak-anak didik. Agar anak-anak dapat tetap belajar dan masa depan mereka cerah.

Dedikasi terhadap profesi, ini yang akan membedakan kinerja seseorang. Orang-orang yang memiliki dedikasi tinggi, mereka melakukan pekerjaannya dengan tulus.

Dalam kondisi darurat, guru-guru bisa saja memilih meliburkan diri. Atau mereka dapat menunggu siswa yang mencari guru. Namun, guru-guru ini memilih untuk melayani. Keteladan mereka patut diacungi jempol.

Bersama artikel ini, saya meluaskan hormat pada guru-guru ini. Sungguh salut untuk dedikasi mereka.

"Metode pembelajaran alternatif yang diterapkan di Kabupaten Sikka menggunakan siaran radio dan guru mendatangi siswa yang dikumpulkan dalam kelompok kecil 10 - 12 orang." - Mayella Da Cunha, Kadin Pendidikan Kabupaten Sikka

Sementara teknologi internet booming, begitu banyak teknologi lain jadi tersisih. Contohnya saja radio.

Transmiter radio amatir, sangat mudah dibuat. Bahkan menurut kawan-kawan SMK Elektro atau Listrik, ini keahlian 'kacangan' alias mudah. Siswa SMK Elektro atau Listrik pasti mahir membuat transmiter radio amatir.

Hanya saja, di wilayah kota, membuat transmiter radio amatir tidak disarankan. Sebab frekuensi gelombang AM dan FM sudah penuh. Ini hanya saran untuk belajar darurat di daerah. Dimana frekuensi gelombang radio belum penuh.

Radio amatir dapat jadi ajang belajar soft skill.  Cuap-cuap di depan microphone dapat meningkatkan kemampuan public speaking. Juga dapat meningkatkan jiwa musik anak-anak.

"Yang masih menjadi tantangan terbesar adalah kita masih belum terbiasa belajar dalam situasi yang darurat, kurangnya kreativitas dan inovasi guru, dan kurangnya sarana pendukung seperti listrik atau alat bantu lain." - Mayella Da Cunha

Belajar dalam situasi darurat memang tidak akan mampu dilakukan jika belum pernah mengalami. Kemampuan datang dari pengalaman. Mau atau tidak mau, Covid-19 perlu disyukuri.

Walaupun tinggal di kota, saya pernah mengalami tidak ada listrik berhari-hari. Jadi, saya mengerti kesulitan-kesulitan mengajar tanpa listrik.

Saat tidak ada listrik, saya harus membatasi jam belajar anak. Beberapa hari kegiatan belajar pindah ke atap rumah, agar mendapat sinar matahari yang cukup. Malam hari jadi kegiatan camping di atap.

Namun, hal itu jadi mengasyikan karena menjadi selingan. Beda dengan daerah yang belum dialiri listrik, guru pasti harus banyak berinovasi. (*)

Menanggapi:
Memperjuangkan Hak Belajar Siswa di Daerah 3T, Tanpa Ponsel dan Kuota (Kompas.com, 23/5/20)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun