"putriku sudah bahagia." Pikirnya
Ia mulai menjalani hari-hari tenang. Tanpa rasa sedih dan kekhawatiran. Meski  selalu rindu, ia hanya cukup membuka album usang untuk selalu tersenyum. Dan selalu bergumam "Putriku sudah bahagia."
Namun rasanya hanya sekejap. Suatu malam putrinya datang sambil menangis. Dengan keadaan kulit lebam keunguan. Ia memeluk sang putri dengan tangisan keras. Siapa yang berani melukai tuan putrinya. Siapa yang berani membuat tuan putrinya menangis, di saat ia sangat berhati-hati menggendong bayi kecilnya karena takut melukai. Siapa yang berani membuatnya sekurus itu. Di saat ia mewujudkan semua yang ditunjuk tuan putrinya.
Hatinya hancur. Ia memberikan nama sempurna agar putrinya selalu bahagia dan dicintai. Tetapi yang ia lihat malah sebaliknya. Lalu ia mulai menyalahkan dirinya sendiri. Mengapa ia berikan putrinya kepada orang lain? Mengapa ia melepaskan tangan putrinya kala itu? Dosa apa yang membuat tuan putrinya menderita?
Tidak semua ayah seperti itu. Tetapi jika anak perempuannya dibuat menangis dan lebam, ayah mana yang tidak akan hancur hatinya. Mereka hanya pemalu, yang sulit mengekspresikan perasaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H