Jauh sebelum menjadi target Zionis, Palestina sudah menjadi target bangsa Kristen Eropa. Tahun 1095 M, muncullah ide gerakan salibis pertama ketika Paus Urbanus II berkhutbah dalam acara keagamaan di Prancis Selatan. Sejumlah uskup dan pendeta hadir untuk mengeluhkan kondisi gereja yang semakin terpuruk, dan itu mendorong semangat keagamaan mereka untuk mengirim ekspedisi di bawah bendera salib melawan kaum muslimin di Palestina.
Salah satu alasan gerakan salibis adalah munculnya kekuatan Turki Utsmani yang merupakan kekuatan Islam yang baru. Hal itu mendorong bangsa Eropa Barat untuk mengirim ekspedisi melawan umat Islam di Palestina. Otak orang-orang Eropa ditanami pemikiran bahwa ekspedisi salibis adalah sebuah perjalanan ziarah ke Tanah Suci, hingga ekspedisi itu menjadi sebuah Impian bagi orang miskin.
Terlalu sangat beradab menyebutkan sebuah peperangan dengan kata mengirim ekspedisi. Padahal pada perang salib pertama, Baitul Maqdis dibanjiri darah hingga melebihi mata kaki. Mereka membunuh Wanita dan anak-anak tanpa adab. Bahkan bangsa Yahudi dibakar hidup-hidup dalam tempat ibadah mereka. Kesimpulannya, perang salib bukan hanya tentang penaklukan, tapi juga tentang agama.
Padahal, umat Islam dan bangsa Yahudi dibantai bersama saat perang salib pertama di Palestina. Tapi anehnya mengapa Zionis membantai penduduk Palestina, bukan Kristen Eropa?
Sebelum meninggal, Theodore Herzl membuat gebrakan besar. Pada Kongres Zionis tahun 1903 M, ia mengusulkan untuk melupakan Palestina sebab Pemerintah Inggris telah menjanjikan Uganda untuk Zionis. Ironisnya, kaum Zionis menolak dan ia dituduh sebagai pengkhianat. Kesimpulannya, Theodore Herzl - sang bapak Zionis - tidak benar-benar menginginkan Palestina. Yang artinya, pemikiran yang ditanamkan Zionisme secara turun-temurun kepada bangsa Yahudi bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan untuk mereka hanyalah omong kosong.
Zionis hanya menginginkan tanah untuk membuat negara Yahudi, dan mereka sudah bekerja keras dalam menguasai Palestina. Jika mereka harus pindah ke Uganda, artinya mereka harus memulai semuanya lagi dari nol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H