Ingin  segera kuresapi sinarmu, agar segera terhalau dan tertepis dingin bekuku, yang menembus hingga sumsum tulangku, semoga rasa yang meresahi ini yang kuharap segera pudar seiring hangat mentari. Malam hanya menyisakan bayangan yang terlampau lama kelam, saat aku hanya bisa menahan deru mesranya keinginan.
Ingin kujemput pagi yang selalu kusyukuri, yang membuatku diam sambil mengeja gerak nikmat kehidupan tiada henti. Menyatakan aku masih disini, diantara putaran edar garis kehidupan, dalam kalimat-kalimat yang semakin kuat dimaknai oleh peristiwa yang terjadi. Tubuhku juga tubuhmu memang menua secara pasti menjemput indahnya mati, mengurai rasa terima kasih hati jiwaku dan jiwamu yang kian penuh pesona, dicahayai kasih sayang murni Ilahi.
Tumbuh kembang, layu mati terus berganti menyerbu taman kehidupanku, kehidupanmu, kemarin aku masih duduk merenungi, dari tiada berubah menjadi segumpal darah, janin, bayi, balita, remaja, dewasa, menua dan akan segera tiada lagi, larut dalam evolusi Ilahi. Apa yang mesti dikenang adalah tetes butiran  nikmatnya setiap embun hikmah, apa yang mesti ditinggalkan adalah amal budi yang kita tanam dengan sentuhan ketulusan, apa yang mesti diabadikan adalah pancaran cinta kasih Rabbul Izzati.
Semoga pagiku, pagimu, dipenuhi berkah Ilahi berseri-seri...Menjemput pagi...SUBHANALLAAH...
Singosari, 16 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H