Setiap rasa mengalir membentuk tautannya sendiri, diantara air pegunungan yang jernih, melewati ceruk bebukitan yang tenang teduh, semua sedang menuju muara kasih, menyatu di gelora samudera cinta Ilahi.Â
Jika aku cemburu, karena dekatku pada percik hujan kasihmu, aku telah basah dan akhirnya menggigil terbiar dari kehangatan. Jika aku cemburu, karena sengatan bara api cintamu, aku telah menggeliat kepanasan, tanpa jejakmu kecuali rela menjadi abu debu.
Metamorfosa ruh abadi  telah menjelma materi yang menarik, berbalut indahnya rasa rindu, merasuk lembut di singgasana hati. Mungkin engkau tahu diantara diammu, serta niscayanya resah yang bersemayam menunggu.
Inilah kebahagiaan yang lain itu sayang, yang tak akan pernah engkau lihat dan temukan sebagai cahaya, sebelum engkau mengemas alun kata yang berserakan ditiup angin lalu, setelah engkau ambil untuk dijadikan sebuah lukisan, yang bisa sering engkau pandangi di sempurnanya pangerti bingkai maknamu.
Sebagaimana engkau tak akan melupakanku, engkau pun selalu bersama basahnya ingatanku, mengenang nikmatnya genggaman hangat-lembut, juga sentuh-mesra kala pundakmu engkau berikan bagi sandaranku, bersama kita menatap gemericik beningnya air menembus bebatuan dan ikan di dasar sungai itu.
Ada detik dimana tertumpah isi degup jantung kita yang belum pernah usai, membuat air mata jatuh berderai menelusuri rindu yang kian membuncahi. Mungkin misteri cinta akan dibukakan, saat hati kita bertambah kuat dalam kelembutan, dan kian damai di jalan arah tujuan. Â Â
Sedihmu sedihku yang menyatu adalah nyanyian serta untaian doa jiwa suci, getarannya akan selalu terasa sepanjang hayat, ketika senja menguning emas di ufuk barat, bila engkau tak lagi bertanya dan kurela berlalu tanpa jawab. Engkaulah sang kekasih di puncak keindahan hati...
Malang, @lila17, 6/8/19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H