Berbeda kasusnya, pada seseorang yang bertandang ke rumah seorang pejabat A, misalnya. Ia akan mengatakan telah bersua dengan anak-anak bapak A, atau putra-putrinya, dan tak akan pernah berani mengatakan bocah-bocah bapak A.
Berempati pada semua pihak (termasuk ibu-ibu rumah tangga yang tak berprofesi) untuk menyuarakan kebenaran adalah sah-sah saja, namun tidak lantas berarti bersimpati dan menyetujui mobilisasi golongan tersebut demi grup politik tertentu. Apalagi kala komunitas itu bergerak/ bersuara (feminisme/ women's lib?), tanpa memiliki dasar pengetahuan politik yang kuat, tentu kontennya akan rapuh, bahkan rawan disetir.
Memang inilah dilema lema emak. Ada yang merasa tak terganggu, ada yang merasa tidak 'pas', baik menurut asal katanya maupun status/ peranannya dalam perpolitikan menjelang Pemilu ini.
Bagi yang merasa tak keberatan, konsekuensinya ia juga akan oke-oke saja jika istrinya disebut sebagai mak Fulan, dan anaknya juga dipanggil bocah Fulan.
Lalu, mengapa terasa sesuatu yang mengganjal ganjil?
                                 ----****----
*) Tulisan ini ditulis, sependapat dengan komentar Noverita Hapsari di harian Kompas hari ini
*) Â Izin mengutip dari ybs
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H