Akhir-akhir ini sering muncul istilah 'emak-emak', terutama di dunia perpolitikan. Tulisan ini tidak memfokuskan pada masalah yang menyerempet politik itu sendiri, melainkan pada masalah pemilihan kata 'emak'.
Batasan frasa 'emak' adalah kaum ibu, sudah berumah tangga, dan mengerucut pada himpunan mereka yang tidak memiliki profesi tetap.
Kita memahami definisi kata 'emak', namun penggunaan kata itu sendiri, pada masyarakat jaman now, sudah amat jarang digunakan. Itu berlaku pada segala strata.
Ada perkecualian tentunya, sebutan 'emak' masih umum berlaku yakni untuk keluarga-keluarga di daerah, atau untuk kelompok orang berusia tua dengan pekerjaan tertentu. Misalnya mak Erot yang memiliki bisnis erotis itu. Maksudnya ya, mak-mak yang satu ini memiliki mata pencaharian dengan membesarkan 'sesuatu' yang hanya dimiliki kaum adam.
Di jaman sekarang ini, sebutan wajar yang digunakan seorang anak untuk memanggil wanita yang melahirkannya, adalah 'ibu', 'bunda', atau 'mama'. Elegan kedengarannya. Sudah jarang, seorang ibu di daerah perkotaan atau metropolitan mau dipanggil anaknya dengan sebutan 'emak. Nggak keren.
Bahkan di TK-TK, para ibu akan memanggil ibu yang lain dengan panggilan mama 'X'. Jadi misalnya, seorang ibu bernama Dian, mengantar anaknya yang bernama Andi, maka di area TK tersebut ia akan disapa sebagai mama Andi. Lupakan nama Dian itu sendiri.
Selama mengantar, menjemput, atau menunggu anaknya (yaitu si Andi) di TK, ibu-ibu dari murid-murid yang lain (orang tua murid) akan memanggil Dian sebagai mama Andi. Tak pernah ada yang protes dengan aturan tak tertulis tersebut. Malahan indah kedengarannya. Ingat, bukan dipanggil sebagai 'emak Andi' lho. Kaum ibu sejati tidak suka atas sebutan 'emak', kecuali sedang bercanda atau kondisi negatif lainnya.
Sebagai perbandingan, merujuk pada kaum hawa yang menyandang status atau kondisi terhormat, sepertinya hampir-hampir tak ada yang dipanggil 'emak'. Para aktivis wanita tak pernah disebut aktivis emak-emak. Atau ilmuwan emak-emak. Atau menteri emak-emak.
Panggilan emak, terasa sejajar dengan 'babe' (Bapak) dan itu juga hanya digunakan masyarakat modern ketika menghadapi situasi dan kondisi yang kurang nyaman (baca: mengesalkan). Contohnya adalah pada saat lalu lintas macet gegara rombongan Menteri/ VVIP lewat- yang dikawal kendaraan bersirene - untuk 'meminta' akses jalur privilese. Pengguna lalin yang harus mengalah, menepi, memelankan kendaraannya, akan mengatakan,"Biasa, babe lewat..."
Lain halnya jika sesorang ber-swafoto bersama Menteri tersebut, tentu ia akan berkata,"Saya tadi ber-swafoto dengan Bapak Menteri." (tidak menyebut 'babe' lagi)
Demikian juga ketika sekerumunan anak kecil bermain dan mengganggu sekitarnya, misalnya bermain layangan di pinggir jalan raya, berenang dan bermain di air tergenang/ banjir, maka masyarakat yang melihatnya akan bereaksi dengan berujar,"Dasar bocah-bocah.."