Satu fajar pagi yang menggelora...
Seusai membereskan segala rutinitas sehari-hari, aku menuju gudang belakang.
Kuambil sebatang bambu yang telah dicat merah separuh dan putih separuhnya lagi.
Benda itu hanya dipakai setahun sekali, yakni pada tanggal 17 Agustus.
Ah, sebatang bambu yang diruncingkan, pada masa perjuangan dulu menjadi senjata para gerilyawan kita.
Kuikatkan diujungnya selembar bendera merah putih, yang selama ini tersimpan rapi di lemari.
Bendera dwiwarna tersebut, dahulu adalah identitas bangsa yang diperjuangkan dengan nyawa para pahlawan kita.
Selesai sudah, bambu sebagai tiang bendera tersebut kuikatkan pada pagar rumah. Setiap rumah bagai berteriak bangga, memamerkan tiang bendera merah putih mereka masing-masing.Â
Untuk beberapa hari berjuta lembar bendera dwiwarna tersebut akan melambai di langit persada pertiwi, tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Dengan rasa haru kupandangi lambaian bendera tersebut. Sapuan nuansa merahnya mengajak nurani keberanianku untuk terus menyerukan suara kebenaran. Warna putihnya, merengkuhku untuk selalu menjaga kesucian niat hati dalam menjalani kehidupan ini.
Aku bangga hidup di Indonesia, dan akan tetap bangga selamanya.
Terima kasih, para pejuang kemerdekaan.