Kita terlampaui jauh melupakan Aqidatu al-Awam, Sullam al-Taufiq, Safinatu al-Naja, Syifau al-Janan. Bahkan, menganggap kitab-kitab berfisik kecil tersebut tidak relevan jika dipakai gaya-gayaan. Atau, dianggap tak lagi sesuai zaman. Kadang begitu berani mencampakkan dan meninggalkan kandungan yang tertuang di dalamnya.
Kutubu al-shaghair (kitab-kitab kecil) itu sudah banyak kita tinggalkan seiring 'pengakuan' kita semakin besar. Besar kepala. Dan, semat sekian gelar mentereng di belakang nama. Kemudian, dengan congkak berdalil (yang rupanya itu berdalih) dengan seabrek kilmah, "yuhramu ala ahli al-hukmi bikutubi al-shaghair" (diharamkan bagi ahli ilmu berhukum dengan menggunakan booklet /kitab kecil). Mirisnya, memahami kilmah ini dengan amat nista dan serampangan.
Taruhlah hal itu menjadi pembenaran, tapi tidak cukupkah kutubu al-shaghair sebagai sandaran pribadi, teman langkah kita sehari-hari, agar kita tidak terperosok ke dalam jurang 'dosa' yang tidak kita sadari?
Kita telah banyak melewati fase keilmuan, lalu lupa lagi abai akan kitab-kitab seukuran 'sayap kupu-kupu' itu. kita merasa puas lagi bangga menelaah dan mengkaji pemikiran Ali Syariati, Filsafat Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun, Ushul As-Syafii, sampai pada tumpukan kitab Al-Umm, Thabaqat, soal khilafiyat madzahibu al-arbaah, dan sederet kitab gede lainnya.Â
Namun, dalam waktu yang sama kita abai dan menendang sunnah-sunnah rawatib yang banyak ditekankan dalam kitab-kitab kecil itu seraya (kadang) mengkritisi bahwa hal itu kontraproduktif dengan zaman yang serba kompleks seperti saat ini. Naudzu billah.
Terkadang juga kita capcipcup lagi jumutus membahas ragam persoalan pelik dalam Masailu al-Fiqih seribu bahkan berjuta komplikasi problem kontemporer modern. Dan ada juga dengan gegabah, dengan latah mepersoalkan keabsahan hukum poligami, berdalil heboh gender equality, hak asasi dan menseragamkan ekonomi kapitalis berbasic riba dan muamalat syar'i.
Lagi-lagi kita 'sok hebat' mencampakkan hukum-hukum fardi (personal) dan yang jama'i (kolektif sosial) yang qat'i yang banyak diperjelas dalam kitab-kitab ashghar semisal Sullam al-Taufiq atau syarahnya yang ditulis Syaikh Nawawi Al-Jawi, Mirqah Shuudu al-Tashdiq.
Maka, apa yang terjadi dengan kita. Dengan jemawa melupakan tulang dan daging dan ingin wah dipandang di kulit luaran. Bertambah ilmu, malah bertambah kesombongan. Semakin tinggi ilmu, semakin tinggi mendongakkan kepala.
Sekiranya kita sadari, kitab-kitab kabair adalah datang dari shaghair. Jam'u al-Jawami' atau kitab syarah yang super melimpah itu datang dari kitab matan yang berukuran sayap nyamuk.
Patut kita renungi, ada seorang pemuda yang datang kepada Imam Syafii dan mempertanyakan hal yang pelik dengan nada mendebat. Sang Imam tidak lantas menjawab dan hanya menyuruh si pemuda mempraktekkan wudlu'. Setelah Sang Imam Syafii memperhatikan praktek wudlu' si pemuda, Imam Syafii berkata, "Hal yang rumit kau tanyakan, urusan wudlu'mu sempoyongan."
Syahdan, Imam As-Sya'bi ketika ditanya beliau sering menjawab "la adri" (saya tidak tahu). seseorang berkata di hadapan al-sya'bi, "Apakah anda tidak malu menjawab "la adri" padahal anda adalah al faqih (pakar fiqih)? Merespons pernyataan tersebut, Imam As-Sya'bi berkata, "Bagaimana saya malu, padahal malaikat tidak malu ketika ditanya menjawab, "subhanaka la ilma lana (Maha Suci Engkau [ya Allah], kami tidaklah berilmu.."