Melihat seorang dari kami yang tersandar lemas, meminta belas kasih sudah menjadi tontonan kami sebagai pekerja para Belanda itu. Tamu yang tak diundang, tamu yang tak disukai. Hadir dihadapan kami dengan alat yang ditakuti oleh semua dari kami. Tarik pelatuknya dan ucapkan selamat tinggal. Pria kurus itu terpaku menatap langit dan membuka lebar mulutnya dengan kondisi dilalati, pasti sudah tak bernyawa dia. Setiap harinya bertambah orang dengat raut kesedihan yang sama seperti kami rasakan, setiap harinya juga saatnya ucapkan selamat tinggal kepada mereka yang sudah tak bisa mengatakan sepatah katapun.
Bunuh kami perlahan. Bingung akan arah kemana kaki ini melangkah, takut akan tertangkap lagi. Iya, itu yang terjadi padaku. Aku berhasil lolos dari mereka entah bagaimana. Sebagian dari mereka yang mencoba lari ditebak oleh para Belanda. Jika sekalinya anda keluar, kembali ke tempat itu sama saja seperti bunuh diri. Apakah diriku ini seorang pengecut yang lari dan membiarkan yang lainnya disana merasakan bagaimana siksaan yang mereka hadapi? Aku hanya bisa berharap semoga mereka setidaknya menikmati sedikit waktu mereka seperti kami disini. Kami bekerja, tapi kami bekerja untuk kebutuhan kami sendiri, kami bekerja untuk rakyat kami, kami bekerja untuk masa depan kami. Bukannya kami kerja untuk mereka yang tidak tahu apa itu manusiawi.
Bunuh kami perlahan. Sebentar lagi hasil kami panen, tinggal hanya menghitung mundur beberapa minggu lagi. Tubuh yang lelah sehabis berkebun seharian berteduh dibawah teriknya matahari bersandar pada pohon. Bangun dari istirahatku, tiba-tiba satu per satu warga datang ke keramaian. Dibalik sillaunya matahari bayangannya berubah menjadi bencana. Itu Belanda. Mendengar hal tersebut, aku bergegas membawa anak ke tempat yang cukup aman. Mereka akhirnya mengetahui tempat ini. Mereka datang beramai-ramai mengangkat kepala merek dengan pakaian mewah mereka. Seorang dari mereka yang tampaknya pemimpin mereka tampaknya datang dengan membawakan suatu pesan. Kami hanya bisa diam dan takut akan pasukan bersenjata mereka. Dia berkata dan apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia “Kami mengajukan tawaran penjualan harga tanah kalian dengan harga per meternya dengan harga sekian.”. Secara spontan kami menolak. Tentu saja, harga tanah ini 2 kali lebih berharga dari tawaran tersebut.
Bunuh kami perlahan. Suara tembakan terdengar ditelingaku dengar nyaring. Kemudian orang yang berbaju rapih itu melanjutkan kata-katanya “Kami tidak mau adanya baku senjata. Apabila kalian tidak setuju maka kami akan merebut segalanya dari kalian, kalian punya waktu 5 hari untuk memutuskan.”. Pria itu langsung memutarkan badannya dan kembali ke tempat mereka. Seorang dari kami melawan dan berteriak dengan lantangnya “Tanah kami jauh lebih dari harga yang kalian tawarkan!”. Pria itu menunjukan wajahnya kembali dan mendekari seorang tersebut. “5 hari lagi pikirkan apakah kau masih ingin hidup atau ucapkan selamat tinggal kepada yang lainnya?”. Seorang tersebut kemudian menatap matanya dengan dendam dan meludahi si pria Belanda itu. Dia sekarang dalam masalah, tindakan tersebut mendatangkan bencana baginya. Saat itu juga, pelatuk ditarik dan apa boleh buat. Dia tergeletak dan istrinya menghampirinya. Saat ingin membantu suaminya, ia ditembak mati juga. Kemudian pria itu berbalik dengan mengangkat tangannya dan membuka kelima jarinya menandakan 5 hari untuk membuat keputusan. Mereka kembali akhirnya. Kami langsung mengangkut kedua jasad tersebut dan menguburnya. Sangatlah kejam orang Belanda itu. Kami hanya bisa pasrah dan hanya bisa turuti apa yang mereka inginkan.
Bunuh kami perlahan. Terdengar bisikan dibenakku kenapa tidak kami membela apa yang seharusnya milik kita dan melawan para Belanda tersebut. Kami punya waktu 5 hari untuk mempersiapkan semua hal sebelum baku tembak. Waktunya telah tiba bagi kami menunjukan bawha kami tidak takut akan mereka. Kami siap melawan dan mempertahankan tempat ini. 4 hari sudah kita mempersiapkan semua ini. Malam ini merupakan malam tertenang sepanjang hidup ini. Kami semua berkumpul saling bercerita sehingga kami tak akan khawatir akan hari esok.
Matahari tepat berada diatas kepala kita, namun belum ada tanda-tanda akan datangnya Belanda. Sebenarnya hal ini sama saja dengan bunuh diri. Kita semua tau kita akan mati, namun semangat akan kebebasan membuat kami lebih baik mati berjuang mempertahankan tempat ini atau tidak membiarkan tempat ini diambil oleh Belanda secara cuma-cuma. Suara mereka terdengar dari kejauhan seakan kami dijemput maut. Baku tembak pun terjadi. Kekuatan Belanda jauh lebih dari apa yang kita bayangkan. Sebagian dari kami gugur sebagai pahlawan. Sebagian dari kami menyerah takut akan kematian kami. Kami yang menyerah akhirnya dikirim oleh mereka untuk bekerja dibawah perintah mereka dan merasakan apa yang ku rasakan dulu. Bunuh kami perlahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H