Mohon tunggu...
Sholikhul Huda
Sholikhul Huda Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Hidup adalah petualangan. Berpetualang semakin asik ketika dijabarkan dalam tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melihat Nasib Bagas (Pembantu Petugas) di Kelurahan Mangli Walau Masuk Struktur Desa Siaga, Namun Tidak Pernah Merasakan Gaji

25 Juni 2013   23:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:25 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melihat Nasib Bagas (Pembantu Petugas) di Kelurahan Mangli

Walau Masuk Struktur Desa Siaga, Namun Tidak Pernah Merasakan Gaji

Oleh : Sholikhul Huda, Jurnalis Warga

Pembantu Petugas yang disingkat Bagas, merupakan struktur kinerja dalam pemerintahan Desa Siaga. Adanya bagas diperuntukkan membantu warga dalam memperoleh layanan kesehatan. Namun, selama ini ternyata keberadaan mereka seringkali dianggap sebelah mata oleh sebagian kalangan. Lebih parahnya, tidak ada gaji yang diterima para bagas ini.

Tutik Rahayu dan Denis Yeyeng Ekawati, merupakan dua ibu rumah tangga yang menjadi pembantu petugas di Kelurahan Mangli. Jika dilihat denga mata telanjang, senyum yang terlontar diantara keduanya, tidak sekali menimbulkan anggapan rasa susah diantara mareka. Namun, jika melihat lebih mendalam, banyak pengalaman pahit ketika mereka menjalankan tugas sebagai pembantu petugs di Kelurahan Mangli.

Tiga hari dalam satu minggu, setiap sehabis mengantarkan anak-anaknya kesekolah, dua orang ini selalu "nge pos" di kantor desa. Kemudian, pada hari lainnya dirinya harus membantu petugas di Puskesmas Mangli.

Jika dilihat secara kasab mata, kedua orang ini sama seperti pekerja kantoran lainnya. Namun, siapa tahu, pekerjaan yang dilakoninya mulai tahun 2008 ini, ternyata hanya bermotif sosial. Tidak ada anggaran yang bisa disisihkan untuk kedua orang ini. Bahkan, seringkali dirinya mendapat perlakuan lain ketika membantu para pasien di Puseksmas pada saat pengarahan pelayanan kesehatan.

“Senin sampai Rabu kami di kantor desa, kemudian hari lainnya kami di Puskesmas. Sejak kami di daku sebagai Bagas, kami tidak pernah mendapat insentif apapun. Kami tidak pernah menanyakan,” kata Tutik.

Sungguh sangat miris ketika melihat para ibu yang aktif di sebuah kelurahan yang di plot sebagai Desa Siaga, namun nyatanya tidak mendapatkan haknya. Namun, kedua orang ini terus melakukan kegiatan tersebut terus-menerus. Berbekal restu sang suami, mereka melakukannya dengan sepenuh hati. “Walau kami tidak mendapatkan gaji, namun kami tidak pernah di tegur suami. Semampang kegiatan itu baik, maka diperbolehkan,” kata Denis.

Bagas, merupakan salah satu petugas pada wilayah yang diberi gelar deasa siaga. Dimana pada setiap desa siaga, ada petugas tersendiri yang mendata tentang ibu hamil resiko tinggi (risti), balita, gizi buruk, dan masalah kesehatan lainnya. Yang seharusnya dalam pelaksaannya tersebut, program itu semestinya dibiayai. Namun, ternyata tidak ada sama sekali penunjang pekerjaan mereka.

“Jika dikantor kelurahan mungkin baik-baik saja. Namun terkadang, tekanan batin kami munculm ketika di Puskesmas. Memang nama kami ada dalam struktur Puskesmas, namun apakah lantas kami ini termarginalkan,” kata tutik.

Dikatakan, keberadaan Bagas di Puskesmas pada saat membantu masyarakat, sering kali diabaikan. Seperti contoh, ketika datang kami mengucapkan salam, namun oleh petugas lain sering kali diabaikan. “Seperti lebih baik tidak ada kami,” terang Denis.

Sebagai manusia, yang memiliki perasaan, sering kali dirinya menahan sakit hati. Namun, walau begitu, yang paling dekat dengan warga justru dua orang ini. Karena pekerjaannya dalam mendata balita, dan lain sebagainya, masyarakat Mangli banyak yang mengenal dirinya.

Tidak hanya itu, dalam hal lain mereka juga mendapat perlakuan yang tersisihkan. Seperti saat dirinya di daku oleh kepala Puskesmas menjadi petugas pelaksana Pin Difteri, banyak kalangan yang merasa pekerjaanya digantikan. “Karena kami tidak ada dalam struktur Puskesmas, seakan itu bukan tugas kami, dan kami seakan mengambil milik mereka,” kata Tutik.

Pun juga dimata masyarakat Mangli. Kedua orang ini lebih dikenal sebnagai petugas puskesmas dari pada petugas puskesmas yang ada dalam struktur. “Yang kami tahu bu Denis itu adalah petugas Puskesmas,” kata Leni, salah seorang ibu rumah tangga. Hal tersebut sangat logis. Karena melihat kinerjanya yang lebih sering turun ke masyarakat menjadikan kedua orang ini familier dimata masyarakat.

Keluhan tersebut baru muncul ketika mereka dekat dengan rekan-rekan Jurnalisme Warga (JW) Jember. Dengan adanya JW, kedua orang ini akhirnya terbuka dan menceriterakan jeritan hatinya tanpa tedeng aling-aling. “Kami berharap, pemerintah Kabupaten Jember bisa memperhatikan para nasib mereka,” kata Khoirul Faizin, koordinator JW Jember.(huda-jurnalis warga jember)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun