Mohon tunggu...
Bahsuan_Anin
Bahsuan_Anin Mohon Tunggu... Guru - Anin Lihi

Anin Lihi lahir di Amaholu Seram Bagian Barat. Adalah anak ke 7 dari 9 bersaudara. Hidup sederhana dan berusaha menyebar manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kisah Nelayan Seram Ketika Pirawe (La Rajab)

23 Februari 2018   07:26 Diperbarui: 23 Februari 2018   07:54 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Kami berlayar hingga ke kampung Roma (NTB), kemudian sela(memancing ikan cakalang dan tatihu) untuk dijadikan umpan, pada jam empat sore kami memasang rawe(pancing hiu) hingga jam enam, cahaya fasak mulai hilang dari arah terbitannya, waktu maghrib telah tiba, tanpa adzan berkumandang, kami harus beristirahat sejenak makan dan mungkin juga shalat sembari menunggu rawe yang sedang kami pasang itu. 

Keesokan harinya, tepat pada jam delapan pagi, kamipun menarik raweitu, hingga jam sebelas siang baru raweitu finish kami lakukan, nampak bergeletak ikan-ikan hiu super sembari tersenyum memandangnya, keringat bercucuran atas terpaan terik matahari dan kurasan tenaga saat menarik rawe, uap laut yang tidak mengalahkan naiknya suhu tubuh kami, namun hiu-hiu super yang kami dapatkan itu membuat kami semangat, jumlah keseluruhannya dua belas ekor. 

Besoknya kami pasang rawelagi sebagaimana biasanya, ketika malam tiba tampak gelombang merorong-rong rawekami sampai rawekami putus tujuh buah mata rawe, karena itu kami hanya mendapatkan lima puluh delapan ekor hiu, setelah rawe-rawesudah kami naikan ke perahu motor kami, maka kamipun memutuskan ke pesisir pantai untuk beristirahat.

Sebelum kami turun lagi, terlebih dahulu kami mengantar orang-orang Roma ke Kisar, perjalan yang kami tempuh ke sana (Kisar) saat itu selama enam jam, setelah penumpang-penumpang itu turun, kamipun meninggalkan dermaga Kisar, kemudian sela lagi untuk mencari umpan, kami dapat dua ratus lebih ikan cakalang, malamnya kami pasang rawelagi tepat di bawah pertengahan Kalabhahidan Pulau Binongko, di tempat itu gelombangnya boleh juga, ombaknya sangat besar, sehingga teman-teman kami ada yang menangis, karena khawatir akhirnya mereka menyampaikan kepada saya (La Rajab) untuk kembali pulang, sayapun katakan kepada mereka "jangan, insya Allah tidak apa ini". 

Saat itu di belakang kami ada sebuah muntoro (motor laut) teman kami, ketika mereka sedang makan, tiba-tiba lewat kapala kabongo (kapal tengker), motor teman kami di belakng motor kami itu tadi putus tengah, dua orang luka-luka setelah ditabrak oleh kapal tengker itu, pada akhirnya kami harus menarik rawekami untuk membawa dua orang ABK (Anak Buah Kapal) yang luka itu, kapal kabhongo itu seperi tidak mengetahui apa-apa tentang peristiwa tertabraknya motor teman kami itu, lalu kami membawa mereka yang terluka ke Kecamatan Larang Toka, tepat di bagian Tanjung Bunga, mereka di naikkan ke kapal lalu di pulangkan.

Setelah itu, teman kami kemudian menyampaikan untuk berangkat ke bagian Kupang, sekitar empat jam kami berangkat itupun belum sampai, kemudian kami selalagi, kami mendapatkan ikan sebanyak dua ratus ekor cakalang, pada waktu yang sama yakni sore, kami pasang rawekami lagi, perjalanan yang kami tempuh untuk memasang rawe sekitar sehari perjalanan baru sampai ke Kupang, hanya tiga ekor hiu yang kami dapatkan saat itu, akhirnya kami memutuskan untuk sementara kami naik singga di Kupang bersitirahat, sekaligus menenangkan motor kami dari terpaan gelombang, di Kupang ketika itu musim barat, kondisi lautnya tenang.

Adapun ikan-ikan hiu yang kami dapatkan, ada yang kami jual di Bau-Bau, adapula yang kami jual di Kupang dan beberapa daerah lainnya. Pekerjaan rawe ini kami lakukan hingga tiga sampai empat bulan di  laut, barulah kami kembali ke kampung halaman kami bertemu dengan istri dan anak-anak kami, itulah sekelumit rutinitas kami di laut.

Seperti itulah hidup dan kehidupan nelayan demi menafkahi istri dan anak-anak, mereka rela berbulan-bulan meninggalkan istri dan anak-anak mereka, tentunya tidak dapat dibayangkan bagaimana tantangannya dalam mengarungi ruang samudra, belum lagi mereka harus menahan kerinduan mereka, hidup memang nyawa terkadang menjadi taruhan bagi mereka.

Penulis

Anin Lih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun