Mohon tunggu...
Lifthihah Anis Marufah
Lifthihah Anis Marufah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dengan Kebiasaan Berliterasi di Sekolah

3 November 2022   11:34 Diperbarui: 3 November 2022   11:41 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh : Lifthihah Anis Ma'rufah, Meilan Arsanti

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Unissula

Mari coba kita renungkan, apakah pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran atau bahkan learning loss setelah pandemi? Pandemi menyebabkan perubahan pada banyak hal, termasuk bidang pendidikan. Kegiatan belajar mengajar yang tadinya dilaksanakan di sekolah, telah beralih menjadi pembelajaran jarak jauh melalui layar maya. Siswa, guru, dan orang tua harus melakukan penyesuaian agar hasil belajar tetap maksimal dilakukan secara online. Pada saat pembelajaran jarak jauh (PJJ) diterapkan selama satu tahun lebih mengakibatkan hilangnya motivasi belajar siswa. Keterbatasan interaksi antara guru dengan peserta didik untuk melaksanakan transfer of knowledge dan kendala kesulitan jaringan memicu terjadinya learning loss sebagai dampak PJJ yang tidak maksimal. Learning loss ini merujuk kepada hilangnya sebagian kecil atau sebagian besar pengetahuan dan keterampilan dalam perkembangan ilmu pengetahuan atau akademis peserta didik akibat terhenti dan terganggunya proses pembelajaran. Ketika proses belajar mengajar mengalami gangguan maka menyebabkan kemampuan siswa menurun, atau bahkan gangguan lain seperti gangguan tumbuh kembang anak (kognitif, psikomotorik, dan afektif), tekanan psikologis sosial bahkan sampai putus sekolah.

Namun pemerintah tidak diam begitu saja ketika learning loss menghampiri. Masa transisi dari yang awalnya pembelajaran dilaksanakan secara online dan sekarang offline atau berada di sekolah, pemerintah telah memunculkan berbagai solusi untuk menghadapi learning loss ini. Hadirnya Kurikulum Merdeka menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan masa ini. Dalam Kurikulum Merdeka, siswa tidak hanya dibentuk menjadi cerdas. Namun, juga berkarakter sesuai dengan nilai-nilai Pancasila atau yang disebut Profil Pelajar Pancasila. Kurikulum Merdeka belajar dirancang sebagai bagian dari upaya Kemendikbudristek untuk mengatasi krisis belajar yang telah lama dihadapi akibat pandemi. Krisis ini ditandai oleh rendahnya hasil belajar peserta didik, bahkan dalam hal yang mendasar seperti literasi membaca. Tentu, pemulihan sistem pendidikan dari krisis belajar tidak bisa diwujudkan dengan melakukan perubahan pada kurikulum saja. Diperlukan juga berbagai upaya penguatan dari kemampuan kapasitas guru, kepala sekolah, pendampingan dari pemerintah daerah, penataan sistem evaluasi, bahkan sampai infrastruktur dan pendanaan yang lebih adil. Namun, kurikulum juga menempati peran yang penting. Kurikulum berpengaruh besar pada apa yang diajarkan oleh guru, dan bagaimana materi tersebut diajarkan. Maka dari itu, kurikulum dirancang dengan baik dan menyesuaikan perkembangan zaman.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah membentuk rencana strategis yang sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020, yaitu Profil Pelajar Pancasila. Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar yang belajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama: beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Profil Pelajar Pancasila tidak hanya diajarkan dalam mata pelajaran tertentu, namun terintegrasi dengan muatan pembelajarannya. Ini berarti cakupan materi dan program yang akan diberikan kepada murid untuk dipelajari dalam proses pembelajaran yang mampu memunculkan aspek-aspek Profil Pelajar Pancasila dalam tiap mata pelajaran. 

Salah satu krisis akibat learning loss di masa pandemi adalah adanya krisis literasi membaca yang sudah disebutkan di atas. Pada Kurikulum Merdeka saat ini proses pembelajaran di sekolah akan membentuk karakter siswa yang cinta tanah air. Pendidikan di sekolah diarahkan tidak semata-mata pada penguasaan dan pemahaman konsep-konsep ilmiah, tetapi juga diarahkan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan berpikir siswa. Khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu keterampilan berpikir kritis. Artinya "Guru perlu mengajarkan siswanya untuk belajar berpikir,". Berpikir kritis termasuk kemampuan yang penting dan vital dalam era pendidikan modern. Tujuan khusus pembelajaran berpikir kritis dalam pendidikan sains maupun ilmu disiplin lain adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir siswa. Sekaligus menyiapkan mereka agar sukses dalam menjalani kehidupannya. Kemampuan berpikir kritis yang tinggi, maka siswa akan dapat mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan dalam kurikulum yang akan dicapai dalam proses pembelajaran. Cara untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis adalah dengan berliterasi.

Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Alberta berpendapat bahwa, literasi bukan hanya sekadar kemampuan untuk membaca dan menulis, tetapi juga menambah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang memungkinkan seseorang memiliki kemampuan berpikir kritis, mampu memecahkan masalah dalam berbagai konteks dan berkomunikasi secara efektif. Dari argumen tersebut memberikan pencerahan kepada kita bahwa literasi memberikan banyak keuntungan bagi seseorang.

Untuk menciptakan budaya berpikir kritis maka sekolah harus menerapkan GLS (Gerakan Literasi Sekolah) kegiatan ini diawali dengan membaca dan menulis. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan oleh peserta didik agar mereka dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan baik (Kemendikbud 2016). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Armia & Zuriana (2017) bahwa terdapat tiga manfaat penerapan budaya berliterasi di sekolah, yaitu (1) melatih kemampuan dasar anak untuk membaca, menulis, dan menghitung. (2) mengembangkan kemampuan berpikir kritis. (3) menyiapkan anak untuk memasuki dunia sekolah. Anak yang sudah terbiasa dengan budaya literasi maka akan mempunyai pemikiran kritis dan komunikatif daripada anak yang tidak terbiasa dengan budaya literasi. Sehingga budaya literasi di sekolah berkaitan erat dengan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Semakin tinggi kemampuan literasi peserta didik, maka akan semakin tinggi juga tingkat kekritisan peserta didik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun