Mohon tunggu...
fatmawati linda
fatmawati linda Mohon Tunggu... -

ibu dari seorang putri cantik bernama lydia

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Nenek Asyani dan Yusman, Sebuah Kegagalan Hukum

1 April 2015   08:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:42 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nenek Asyani didakwa mencuri dua balok kayu milik Perum Perhutani. Padahal, kayu tersebut sejatinya telah ditebang almarhum suaminya sekitar enam tahun lalu dan selama ini disimpan dikolong dipan. Persoalan muncul tatkala Nenek Asyani hendak menjadikan balok kayu itu kursi lewat jasa Cipto, tukang kayu yang masih terhitung tetangganya. Ia ditangkap karena tidak bisa menunjukkan bukti keabsahan kayu. Pasalnya, di saat bersamaan, Perhutani kehilangan dua gelondong kayu. Sebanyak 38 sirap kayu jati ditemukan di rumah Cipto dan diklaim sebagi bagian kayu yang hilang itu.

Di tempat berbeda, Yusman Telaumbanua sedang menunggu eksekusi mati dirinya di LP Batu Nusakambangan, Jawa Tengah. Yusman, pemuda asal Nias di vonis hukuman mati atas tuduhan pembunuhan terencana yang dilakukan terhadap majikannya pada tahun 2012 silam. Menurut KONTRAS dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Yusman belum masuk dalam kategori dewasa ketika vonis itu dijatuhkan. Yusman waktu itu baru berumur 16 Tahun. Bukan hanya masalah umur yang diduga cacat hukum, namun proses peradilan juga berlangsung secara tidak masuk akal. Ini adalah bentuk nyata buruknya proses peradilan pidana di Indonesia. Selain menunjukkan betapa lemahnya perlindungan bagi hak anak, putusan pidana mati ini juga menunjukkan buruknya standar proses peradilan bagi terdakwa yang diancam dengan hukuman mati.

Hukum yang tidak membahagiakan

Kedua orang tersebut di atas adalah korban keberadaan hukum yang tidak berjalan semestinya. Sejatinya penegakan hukum sebagai wujud perlindungan hukum bagi pelaku kejahatan, bukan sebaliknya. Proses penyelesaian hukum Nenek Asyani bisa saja melalui keadilan restorative atau melalui mediasi yang berujung damai. Kepolisian, sebagai garda terdepan dalam proses peradilan pidana dapat melakukan hal tersebut. Jika demikian, maka seharusnya kini Nenek Asyani tidak perlu duduk dibalik terali besi dan mengikuti persidangan demi persidangan yang sarat dengan “tekanan”.

Begitu pun dengan Yusman, sebagai seorang yang masih 16 tahun, dia dikategorikan sebagai anak. Proses peradilan pidana anak mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan, dan dalam menjalankan putusan pengadilan di Lembaga Pemasyarakatan Anak wajib dilakukan oleh pejabat-pejabat yang terdidik khusus atau setidaknya mengetahui masalah anak nakal. Perlakuan proses peradilan pidana anak harus memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan anak dan tetap menjunjug tinggi harkat dan martabat anak tanpa mengabaikan terlaksananya keadilan, dan bukan membuat nilai kemanusiaan anak menjadi lebih rendah.

Salah satu yang menonjol dari hukum modern adalah sifat rasional dan formal. Rasionalitas itu bahkan bisa berkembang sedemikian rupa sehingga sampai pada tingkat “rasionalitas di atas segala-galanya” (rationality above else). Dalam suasana seperti itu tidak mengherankan bila para pelaku penyelenggara hukum, baik legislator, penegak hukum, dan lainnya, akan mengambil “sikap rasional” seperti itu pula. Misalnya, bukan keadilan yang ingin diciptakan, tetapi “cukup” menjalankan dan menerapkannya secara rasional. Artinya, diyakini, hukum sudah dijalankan bila semua orang sudah berpegangan pada rasionalitas itu. Jika melihat kasus Nenek Asyani dan Yusman, maka dapat ditangkap kesan bahwa proses peradilan pidananya mengedepankan “rasionalitas di atas segala-galanya”, yang bahkan masih tidak sesuai dengan hukum formal.

Professional Privilege

Krisis spiritualitas profesi menyebabkan para penegak hukum kehilangan apa yang disebut Dean Starr sebagai suatu budaya atau kultur berbuat benar yang terdiri dari empat prinsip kunci : (1) integritas; (2) martabat semua manusia yang dilingkupi peradaban, (3) kesempurnaan, dan (4) simpati. Hanya dengan adanya keempat prinsip kunci ini profesi penegak hukum itu dihayati sebagai suatu panggilan, atau yang sering disebut “amanah”, sekaligus mendasari adanya “professional privilege”, yaitu wewenang khusus yang hanya diberikan kepada Polisi, Jaksa, Hakim, termasuk Advokatyang mencakup menyelidik, menyidik, menuntut, mengadili, menjatuhkan hukum, dan mengeksekusi putusan pengadilan, serta wewenang yang diberikan kepada advokat untuk melakukan pembelaan. Wewenang ini tidak diberikan kepada profesi lain.

Penyelidik, karena tugasnya yang begitu strategis dan penting, haruslah orang-orang yang memiliki apa yang disebut Socrates keutamaan (summon bonum). Kebahagiaan (eudaimonia) mereka, bukan lagi terletak pada ukuran-ukuran hedonistic badani, tetapi pada peningkatan jiwa dan kepedulian akan kebijaksanaan. Mereka harus memiliki arête (virtue), yaitu bahwa hidup yang baik, tidak berarti lain daripada mempraktikkan pengetahuan baik itu. Prinsip ini harus menjadi keutamaan tertinggi dalam hidup penyelidik. Maka penting sekali memperhatikan segi moral dan kepribadian individu-individu yang bertugas sebagai penyelidik. Mutu moral dan kematangan kepribadian mereka, harus menjadi patokan penugasan. Dan Institusi serta kebijakan pimpinan harus maksimal mendorong penguatan jajaran penyelidik.

Adanya dugaan bahwa dalam proses penyelidikan Yusman mengalami tekanan fisik dan psikis, menunjukkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam proses hukum formil. Dalam konteks etika tugas, penyidik wajib dan harus melaksanakan tugas penyelidikan, sekalipun langit runtuh. Dengan kata lain, dalam menjalankan tugasnya, penyelidik tidak perlu memperdulikan apapun, kecuali menunaikan tugas penyelidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Maka faktor-faktor eksternal seperti backing orang kuat, intervensi atasan, godaan suap, hubungan family dan lain-lain, tidak relevan dalam konteks menjalankan tugas.

Kebenaran

Legitimasi sistem peradilan pidana terletak pada dua pilar, yakni : efektivitas dan kebenaran sistem peradilan pidana tersebut. Efektivitas dinilai dari kemampuan dan ketepatan atau akurasi dalam mendeteksi, melakukan investigasi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dalam persidangan sampai dengan penjatuhan hukuman yang tepat bagi terdakwa yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, sampai dengan tingkat pelaksanaan pemidanaan.

Kebenaran dinilai dari ketelitian, kecermatan dan upaya-upaya kewajiban negara dengan hak-hak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan dengan ketaatan pada prinsip-prinsip hukum dan ketentuan-ketentuan standard prosedur yang ditetapkan peraturan perundang-undangan.

Suatu proses dinilai benar jika memenuhi syarat-syarat : pertama, adanya konsistensi penerapan standar-standar terhadap siapapun dan sepanjang waktu; kedua, tidak bias oleh kepentingan pribadi; ketiga, akurasi keputusan yang didasarkan informasi dan fakta yang dapat dipercaya; keempat, dapat dikoreksi, dalam arti terbuka untuk diperdebatkan dan dibanding; kelima, representasi dari semua hal yang tercakup di dalamnya; keenam, etis, dalam arti terpenuhinya standar-standar etika.

Menurut Clive Walker, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Negara melalui aparat penegak hukum terjadi manakala ada perlakuan negara yang melanggar hak-hak tersangka atau terdakwa atau terpidana. hal ini dapat terjadi salah satunya karena tersangka atau terdakwa atau terpidana diperlakukan sebagai musuh oleh negara melampaui kepentingan melindungi hak-hak orang lain. Suatu penghukuman yang lahir dari ketidakjujuran atau rekayasa akanmenimbulkan tuntutan terhadap legitimasi negara yang seharusnya menghormati hak-hak individu. Hal ini berbahaya bagi integritas moral dalam proses peradilan pidana, bahkan lebih jauh lagi, dapat merusak kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum.

Keterpurukan dibidang hukum yang ditandai dengan kasus Nenek Asyani dan Yusman, memberikan kesempatan kepada kita untuk melakukan perenungan lebih dalam tentang apa makna kita mengorganisir kehidupan sosial dengan bernegara hukum. Untuk apa sesungguhnya kehidupan sosial kita ini ditata melalui hukum ? kita harus menjawabnya dengan kecerdasan spiritual. Persoalannya sudah menjadi terlalu dalam untuk bisa dijawab dengan menggunakan rasio yang matematis, datar dan sederhana. Tetapi kendati menggunakan kecerdasan spiritual, tidak berarti kedua macam berpikir yang lain sama sekali dikesampingkan. Yang benar adalah, kecerdasan spiritual meningkatkan kualitas kedua macam berpikir yang lain. Berpikir dengan rasio dalam hukum diperlukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang sederhana. Berpikir dengan perasaan atau dalam konteks, juga diperlukan karena menjalankan hukum juga memerlukan empati, komitmen, dan dedikasi. Sebagaimana Nelson Mandela mengatakan, “Jangan pernah, jangan pernah dan jangan pernah lagi bumi yang indah ini mengalami penindasan oleh satu kepada yang lain”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun