Tiba-tiba saja saya tergelitik untuk menulis setelah sekian lama vakum dan memilih untuk membaca buku. Sebuah talkshow bertajuk Just Alvin yang tayang di Metro TV tadi malam (2/2) menggugah saya untuk beropini. Tayangan ini memang termasuk tayangan favorit saya. Dibandingkan sinetron dan acara debat, saya lebih suka menonton talk show semacam ini.
Apalagi, Alvin Adam sang presenter menyampaikannya dengan lugas, luwes, dan hangat. Sehingga bukan tidak mungkin artis-artis yang awalnya enggan berbagi, menjadi lebih terbuka di acara ini. Nah, semalam, topiknya adalah tentang dunia perfilman. Yang menjadi narasumber adalah artis-artis yang kebanyakan berperan dalam film daripada sinetron. Seperti Ardinia Wirasti, Lukman Sardi, Herjunot, Maudy Koesnaedi, Agus Kuncoro, dan Ricky Harun.
Dalam perbincangan tersebut ada kalimat Herjunot yang menggugah saya. Dia mengatakan bahwa sudah saatnya masyarakat Indonesia menyaksikan film-film Indonesia. Kalau bukan kita siapa lagi yang akan menonton film Indonesia.
Pernyataan Herjunot itu memang benar adanya. Tanpa kita sadari, saya pun begitu, lebih banyak atau lebih antusias menyaksikan film-film buatan Holywood. Alasannya, tentu karena film Holywood lebih berkualitas dibandingkan film Tanah Air. Mau tidak mau hal tersebut memang menjadi dasar para pecinta film untuk memilih film yang akan ditontonnya.
Saya setuju dengan pernyataan Lukman Sardi, masih di acara tersebut, bahwa film yang bagus adalah yang bisa menyampaikan rasa film itu kepada penontonnya. Dan itu, saya dapatkan di film-film buatan Holywood, Bolywood, dan Korea (Kadorama).
Mengapa bukan film atau sinetron Indonesia? Tentu sudah banyak yang tahu bahwa kondisi film Indonesia dan sinetron (utamanya sinetron), yang hanya menjual mimpi belaka. Selain itu, akting para pemainnya juga kurang menyentuh, kurang menjiwai peran yang dimainkan. Sehingga, ketika menontonnya, rasa yang tersampaikan nyaris tidak ada. Para artis itu tidak mampu memainkan emosi penontonnya. Padahal, kadang cerita yang dimainkan sangat bagus. Hanya karena pemerannya yang kurang menjiwai, maka seluruhnya menjadi kacau dan sukar dinikmati.
Saya akui, dari segi cerita, drama Korea sebenarnya sama saja dengan sinetron Indonesia. Tapi, akting pemerannya sangat alami. Sehingga mau tidak mau penonton ikut terhanyut. Emosi dimainkan dan tidak sabar menunggu kelanjutannya.
Nah, meski begitu, saya masih berusaha untuk menikmati film-film Indonesia. Saya mencoba untuk merasakannya lebih dalam ketika menontonnya. Saya akui, tidak semua film Indonesia kurang enak rasanya. Ada pula yang benar-benar membuat emosi saya teraduk-aduk. Seperti Tanah Air Beta, yang membuat saya menangis tersedu-sedu, Kiamat Sudah Dekat yang membuat saya tertawa terpingkal-pingkal, atau Gending Sriwijaya yang membuat saya mengernyit karena kekejaman pada masa itu. Dan tentunya masih banyak film-film lain yang luar biasa mampu membuat si penonton terhanyut hingga tak sadar filmnya usai.
Tapiiiiii………..sayangnya, film yang tidak menyentuh pun jumlahnya cukup banyak. Dan itu sering membuat saya kecewa. Karena, ketika kita memutuskan untuk menonton sebuah film, kita tidak hanya meluangkan waktu untuk menontonnya, tapi mengharapkan pencerahan, inspirasi, rekreasi, dan hiburan dari film tersebut. Memang sebuah ekspektasi yang sangat tinggi. Tapi, itulah yang diharapkan dari seorang penonton film. Itu sebabnya, mereka bersedia membeli tiket dan menontonnya di bioskop.
Akibatnya, jika keinginan dan harapan tersebut tak terpenuhi akhirnya mereka memilih untuk mendapatkannya dari film-film yang lain. Pengalaman saya banyak film Indonesia yang dipromosikan besar-besaran tapi ternyata tak memenuhi ekspektasi itu. Yang masih teringat jelas, dan membuat saya kecewa, adalah Ayat-ayat Cinta. Luar biasa sekali promosinya. Selain itu, bukunya lebih dulu laris di pasaran. Tapi apa daya, begitu menyaksikannya, saya merasa tak mendapat “sentuhan” apapun. Bahkan, ketika Maria hendak mengembuskan nafas terakhirnya, saya tak terharu sedikit pun.
Lalu adapula Suster N, yang diperankan Wulan Guritno dan Atiqah Hasiolan. Tak ada rasa takut atau mencekam. Padahal, film itu bergenre horor dan teror. Lalu 5 centimeter, entahlah, mungkin saya yang kurang peka, tapi di film ini saya pun bingung dan tak merasakan apapun. Saya hanya melihat bahwa para sahabat ini sedang mendaki gunung tertinggi di Pulau Jawa. Hanya itu. Saya tak merasa terharu dengan persahabatan mereka. Tak seperti ketika saya menyaksikan Mengejar Matahari. Begitu juga dengan Habibie dan Ainun. Saya suka akting Reza Rahadian, tapi Bunga Citra Lestari, entahlah sepertinya kurang menyatu di sana. Saya malah menangis, ketika di akhir film, ada tayangan Habibie sedang menangis di makam Ainun. Saat itu, saya benar-benar terharu. Lalu, ada pula Lima Menara, Di Bawah Lindungan Kakbah, Ketika Cinta Bertasbih, Bukan Cinta Biasa, Perahu Kertas, dan lain sebagainya. Padahal, semua film-film itu dipromosikan dengan bagus. Sampai-sampai membuat penasaran dan ingin menontonnya.
Sayangnya, ekspektasi saya tak terpenuhi. Ujung-ujungnya jengkel dan merasa menyesal menontonnya. Nah, kalau sudah seperti itu, kita tentu tidak bisa menyalahkan jika seseorang ingin mencari film-film lain yang bisa memenuhi ekspektasi tersebut. Karena tidak ada seorang pun yang ingin ekspektasi atau harapannya dikecewakan. Sementara kita tidak dapat memungkiri bahwa film-film Holywood yang beredar memang memiliki kualitas yang bisa memenuhi ekspektasi tersebut.
Meski kadang ceritanya monoton, mereka masih mampu mengimbangi dengan penggunaan teknologi canggih yang memukau penonton. Para sineas Holywood mampu menerjemahkan ide-ide mereka dalam karya-karya yang mendekati atau bahkan melebihi harapan penonton. Saya kira, ini yang harus dipelajari oleh sineas Indonesia. Bukan hanya memasang actor atau aktris kece, mengangkat cerita dari buku yang sudah popular, lalu mempromosikan dengan luar biasa, tapi lupa mencari jalan untuk menerjemahkan ide-ide itu agar memenuhi harapan penonton.
Ini juga menjadi pelajaran bagi para pemerannya, agar mereka tidak hanya sekadar menyuruh kita untuk menonton akting mereka, tapi terus berusaha untuk berakting lebih baik, lebih wajar sehingga seolah tak berakting. Itu sebabnya saya sangat menyukai Reza Rahadian, Lukman Sardi, Nicholas Saputra, Ardinia Wirasti, Lola Amaria, Titi Rajo Bintang, Nirina Zubir, Aming, dan Acha Septriasha. Mereka bermain film tapi tak seperti bermain film. Begitu alami seolah itu kehidupan mereka sendiri yang diangkat di layar lebar. Mereka menyatu, bahkan saya sempat shock ketika melihat foto Gie, yang jauh berbeda dengan Nicholas. Padahal saya sudah terlanjur membayangkan Gie itu seperti Nicholas. Atau mimic wajah Reza Rahadian ketika menjadi Habibie. Dia sama sekali tak mirip Habibie yang luar biasa cerdas itu. Tapi, ekspresinya luar biasa mirip sampai-sampai kita tak sadar bahwa dia adalah Reza Rahadian, bukan BJ Habibie, Presiden ketiga RI ini…………………
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H