Lagi-lagi saya menulis tentang penipuan. Bukan karena latah atau kena demam Vicky Prasetyo. Sekali lagi bukan. Saya menulis penipuan karena kebetulan ibu saya bercerita bahwa pada suatu hari jumat di bulan september lalu, beliau hampir menjadi korban penipuan dengan modus hipnotis. Nah, yang kedua baru terjadi Senin (23/9) ketika saya menumpang bus Restu jurusan Lumajang-Jember.
Karena suatu urusan, saya yang biasa pulang ke Jember pada Ahad Sore, terpaksa menunda hingga Senin Sore. Seperti biasa, saya keluar dari rumah menuju tempat pemberhentian angkutan kota yang sering disebut Lin oleh masyarakat Lumajang. Sekitar 20 menit kemudian, Lin yang saya tumpangi sampai di pertigaan Wonorejo. Saya turun dan langsung menuju ke tempat pemberhentian bus jurusan Lumajang-Jember.
Saya memang terbiasa menunggu bus di tempat itu. Bukan halte, tapi semacam warung pinggir jalan, yang menjual makanan ringan, minuman, dan sebagai tempat mangkal para tukang ojek, sekaligus pedagang asongan.
Menunggu di tempat itu jauh lebih cepat daripada menunggu di terminal. Karena bus hanya berhenti sebentar dan langsung melanjutkan perjalanan. Untungnya, saat itu saya tidak perlu menunggu lama. Bahkan belum sampaike warung, bus sudah melenggang dan sang kenek sudah berteriak-teriak menjajakan busnya. Saya sempat berpikir tidak akan menumpang bus itu. Maklum, bus Restu sudah terkenal sebagai bus tukang ngebut dan hobi ngusruk ke Kali Bondoyudo atau ke rumah warga.
Tapi, karena hari sudah cukup sore serta masih banyak aktivitas yang harus saya lakukan di Jember, saya memutuskan menumpang bus tersebut. Belum sampai lima menit saya duduk, tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar. Kulit wajahnya kasar karena sering beraktivitas di luar ruangan. Mengenakan kaos dan celana kargo yang agak kedodoran. Berkata dengan lantang, “Hei, mana penumpang yang mau ke Situbondo tadi?” suaranya yang lantang itu menarik beberapa penumpang. Mereka terlihat celingak-celinguk mencoba mencari penumpang yang dimaksud lelaki kekar itu.
Dengan suara pelan, seorang laki-laki yang duduk satu deret di depan saya menjawab. “Saya,Pak.” Mendengar itu, tanpa beranjak dari tempatnya berdiri, di dekat tempat duduk sopir, si lelaki kekar berkata,”Oh sampeyan yang mau ke Situbondo. Kok naik bus ini. Kalau bus ini, jurusan Jember lewat Tanggul, ya susah sampeyan kalau mau ke Situbondo. Oh ya, tadi katanya ada yang ketinggalan ya? Nah, sampai di sini, fragmen pun berjalan seperti yang sudah-sudah.
Si pria yang mau ke Situbondo menceritakan kesusahannya karena tasnya yang berisi uang lalu dengan wajah memelas dia akan meminta si lelaki kekar untuk membeli jam tangannya. Dengan gaya menggebu-gebu, si lelaki kekar akan mengatakan bahwa jam tangan itu mahal harganya, terbuat dari emas 22 karat dan harusnya dijual di toko emas. Dia juga akan berkata bahwa dirinya tidak mampu membeli jam tangan tersebut karena hanya memiliki uang yang nilainya jauh di bawah harga jam tangan tersebut.
Karena penasaran, saya melihat kiri kanan. Untunglah, tak satupun penumpang yang tertarik dengan dialog murahan itu. Mungkin, karena sebagian dari penumpang adalah orang-orang sekitar Probolinggo, Lumajang, Jember, dan daerah tapal kuda lainnya, yang sudah hafal di luar kepala dialog dari fragmen tersebut.
Ya, fragmen murahan yang dilakoni kedua laki-laki itu adalah salah satu modus penipuan yang kerap terjadi di dalam bus jurusan Probolinggo-Jember. Dan, seolah menganggap kami, para penumpang adalah orang bodoh semua, si pelakon selalu menggunakan dialog yang sama. Sejak awal saya kuliah di Jember, yaitu pada tahun 2002 sampai 2013 ini, dialog yang digunakan ya tetap seperti itu.
Coba kalau kedua pelakon itu lebih kreatif. Mungkin, ini mungkin lho ya, masih ada penumpang yang jatuh iba pada si lelaki yang kehilangan tas, dan bersedia membeli jam tangannya. Yang, kalau dijual sebenarnya, harganya tidak lebih dari Rp 50 ribu. Saya sendiri, dulu, waktu masih awal kuliah, nyaris terjebak. Kebetulan saya sangat menyukai jam tangan dan sudah mulai mengoleksi. Karena tertarik dengan jam tangan yang katanya bernilai Rp 2,5 juta itu, berlapis emas pula, saya meminta kepada salah seorang dari mereka untuk melihat jam tangan tersebut.
Saat itu kawan saya sudah berbisik-bisik bahwa adegan tersebut penipuan. Tapi, saya sudah terlanjur tertarik. Ketika jam tangan sudah dalam genggaman dan saya bolak-balik, baru saya percaya bahwa semua itu hanya tipu muslihat mereka. Kualitas jam tersebut benar-benar payah. Meski baru awal mengoleksi, sedikit banyak saya sudah cukup tahu jam yang berkualitas ataupun tidak.
Dengan tetap tersenyum, saya kembalikan jam tangan itu sambil berkata bahwa saya hanya mahasiswa yang nggak punya uang. Nah itu cerita dulu. Kalau sekarang, saya sudah kebal. Ya karena itu tadi, dialog yang sama. Bahkan, tujuan ke Situbondo pun juga diulang-ulang. Tapi, meski saya sudah kebal dan hafal dialog mereka, saya tetap waspada. Saya berusaha untuk mengalihkan perhatian dengan mengirim sms atau melihat facebook. Sebab, permainan itu tidak hanya sekadar memancing rasa iba penumpang untuk ikut menolong. Tapi, dialog yang dimainkan dengan cara persuasif itu juga memancing kita untuk larut dalam obrolan mereka.
Dan bukan tidak mungkin, ketika kita sudah terlibat pembicaraan dengan mereka, lama-lama kita bisa terpengaruh. Dan ujung-ujungnya kita yang tertipu. Saya akui taktik semacam ini memang sudah kuno atau nggak gaul alias jadul. Namun, jika dimainkan dengan bagus, bukan tidak mungkin akan ada yang tertarik untuk terlibat. Apalagi jika pemainnya cukup banyak. Itu sebabnya, jika mengendarai kendaraan umum, apalagi yang sudah terindikasi sebagai jalur rawan penipuan, kita harus waspada. Nggak boleh ngelamun atau bengong. Lebih baik tidur jika tidak memiliki aktivitas.
Banyak kasus penipuan yang mengincar korban dengan kondisi bengong, melamun, atau yang gemar ikut campur urusan orang lain. Pokoknya, kalau sudah ada fragmen orang kehilangan dengan dialog yang keras dan menarik perhatian, cepat-cepatlah untuk mencari kesibukan. Agar perhatian kita tidak fokus ke fragmen tersebut.
Apalagi nih ya, kalau dipikir-pikir, orang yang kehilangan tas, tidak akan menjual jam tangannya. Mereka akan pergi ke kantor polisi untuk minta dihubungkan dengan saudaranya atau temannya supaya bisa menjemput mereka. Itu akan lebih mudah menyelesaikan masalah daripada menjual jam tangan yang tentu saja belum tentu laku. Hehehhehe………..
Sekali lagi, meminjam istilah bang Napi, waspadalah…kesehatan bukan hanya karena niat, tapi juga karena adanya kesempatan. Waspadalah….waspadalah!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H